Fenomena Impostor Syndrome
Siapa sangka, fenomena impostor syndrome tidak hanya muncul dalam permainan Among Us, tetapi juga menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Para ‘impostor’ ini bahkan bisa lebih dekat dengan kita daripada yang kita kira! Namun, perlu diingat, istilah impostor yang dimaksud di sini bukan merujuk pada mereka yang bermain curang di ventilasi, melainkan kepada individu yang merasa tidak pantas meraih kesuksesan yang mereka capai. Fenomena ini dikenal sebagai impostor syndrome.
Impostor syndrome seringkali menjadi tantangan yang signifikan, terutama di kalangan mahasiswa. Mahasiswa baru, yang sedang beradaptasi dengan lingkungan akademik kampus, seringkali menjadi kelompok yang rentan mengalami impostor syndrome. Untuk memahami lebih lanjut tentang impostor syndrome, mari kita telaah penjelasannya di bawah ini.
Apa itu Impostor Syndrome?
Impostor syndrome pertama kali dikenalkan oleh dua Psikolog, Rose Clance dan Suzanne Imes, pada tahun 1978. Awalnya, istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana perempuan dengan prestasi tinggi merasa sebagai penipu terhadap prestasinya. Namun, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa impostor syndrome tidak terbatas pada perempuan, melainkan juga bisa dialami oleh laki-laki.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal MEDIAPSI berjudul ‘Peran Impostor Syndrome dalam Menjelaskan Kecemasan Akademis pada Mahasiswa Baru,’ Clance & Imes mendefinisikan impostor syndrome sebagai perasaan bersalah terkait kesuksesan, ketidakmampuan menerima keberhasilan, ketakutan akan evaluasi, perasaan tidak berharga, dan merasa tidak mampu dalam konteks pendidikan. Individu yang mengalami impostor syndrome cenderung meragukan setiap keberhasilan, pencapaian, atau prestasi yang mereka raih. Mereka merasa bahwa keberhasilan mereka hanyalah keberuntungan semata, bukan hasil dari usaha dan kemampuan intelektual mereka. Mereka juga sering merasa bahwa prestasi yang mereka capai sebenarnya tidak layak bagi mereka, yang kemudian dapat menyebabkan perilaku maladaptif dan distress.
Cowman & Ferrari menambahkan bahwa individu yang mengalami impostor syndrome cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memulai pekerjaan lebih awal, namun melibatkan proses penyelesaian yang lambat karena terlalu berlebihan dalam persiapan.
2. Menganggap prestasi yang diperoleh sebagai keberuntungan semata.
3. Takut akan kegagalan karena khawatir dianggap sebagai penipu oleh orang lain.
Kenapa Mahasiswa Baru Rentan Mengalami Impostor Syndrome?
Mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, termasuk dalam golongan yang rentan mengalami masalah psikologis. Adaptasi terhadap peran baru dan lingkungan akademis yang berbeda dapat menjadi tantangan besar. Persaingan akademis yang tinggi antarmahasiswa juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap munculnya impostor syndrome.
Kecemasan akademis merupakan pemicu utama impostor syndrome di kalangan mahasiswa. Ketidakpastian terkait dengan penerimaan atas kualitas pekerjaan akademis yang mereka hasilkan dapat mengganggu pola pikir, respons fisik, dan perilaku mahasiswa. Mereka yang mengalami impostor syndrome seringkali memiliki dorongan kuat untuk mencapai keunggulan dalam hal akademis, namun pada saat yang sama, mereka merasa takut menghadapi kesulitan selama proses pembelajaran.
Bagaimana Cara Mengatasi Impostor Syndrome?
Mahasiswa yang mengalami impostor syndrome seringkali kesulitan mengendalikan rasa cemas mereka. Ini dapat berdampak pada konsentrasi yang berkurang, kekurangan rasa percaya diri, daya nalar yang buruk, dan daya ingat yang singkat. Bahkan, impostor syndrome dikaitkan erat dengan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi, menurut penelitian oleh Chrisman dan Piper.
Untuk mengatasi impostor syndrome, mahasiswa dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengenali dan menghargai kemampuan yang dimiliki dengan membuat catatan prestasi dan pencapaian kecil yang telah diraih. Ini merupakan bentuk apresiasi terhadap diri sendiri.
2. Berkonsultasi atau berbicara dengan seseorang yang dapat dipercaya untuk mendapatkan dukungan dan perspektif yang objektif.
Jika seseorang mencurigai dirinya mengalami impostor syndrome, disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog atau profesional kesehatan mental. Impostor syndrome dapat berkembang menjadi masalah yang lebih besar, seperti gangguan kecemasan atau depresi. Dengan intervensi psikologis yang terstruktur, seperti terapi kognitif perilaku, pemikiran keliru terkait impostor syndrome dapat diperbaiki untuk menciptakan respons yang lebih sehat terhadap lingkungan sekitar.
Jangan biarkan keraguan terhadap kemampuan diri menghalangi potensi dan pencapaian. Meskipun keraguan adalah bagian alami dari proses pertumbuhan, penting untuk terus maju dan mencapai tujuan tanpa terhambat oleh impostor syndrome.