Opini

Childfree: Revolusi Parapuan yang Ditawan Budaya dan Islam

Advertisements

Oleh: Amaliyah Permata Sari

Dulu kita mengenal banyak anak, banyak rezeki. Sekarang kita mengenal banyak anak, banyak emisi. Itulah childfree. Pilihan yang dibuat sepasang suami istri untuk tidak memiliki anak, dan bukan disebabkan karena tidak bisa, melainkan tidak ingin.

Dogma banyak anak banyak rezeki, berhasil membawa Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia per 2024. Walau begitu, beberapa tahun ke belakang, media sosial kita sempat diramaikan oleh istilah childfree setelah salah satu influencer perempuan Indonesia mengaku jika dirinya memilih untuk childfree bersama suaminya.

Pernyataan ini langsung banjir pro dan kontra dari masyarakat. Banyak yang mendukung karena menghargai keputusannya, dan bentuk lain menyelamatkan bumi dari overpopulasi. Namun, banyak juga yang memprotes keputusannya karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama, budaya dan tradisi. Sebenarnya darimana sih, ide childfree ini?

Pada pertengahan abad ke-16, para perempuan dianggap sudah matang untuk menikah di usia belasan. Namun 4 abad kemudian, mulai terjadi pergeseran pandangan. Tepat pada abad ke-20, perempuan Eropa banyak yang menunda pernikahan. Alasan umum ditemui karena kesibukan mencari uang dan karier. Berlanjut pada tahun 1990 hingga 2000-an, dipelopori gelombang feminis ketiga, perempuan Eropa dan Amerika secara lantang memperjuangkan kesetaraan gender tanpa pembebanan anak. Di sinilah istilah childfree by choice lahir. Tumbuh berkembang kemudian menjadi bagian dari lifestyle negara-negara Barat yang person oriented seperti Amerika, Eropa, dan Jerman. Namun, bagi negara yang bukan person oriented seperti Indonesia misalnya, yang tatanan hidupnya diatur oleh agama, budaya, dan tradisi, gerakan ini dengan sendirinya tertolak, atau setidaknya banyak diperdebatkan.

Meskipun childfree ditawarkan sebagai sebuah pilihan hidup yang tidak bisa diintervensi, dan solusi kontemporer parapuan saat ini, apakah bagi negara Indonesia yang beragama dan berbudaya, ada alasan untuk menentang produk kesetaraan gender ini? Siapa saja yang paling lantang menolak ide feminis ini?

Dari aspek agama, childfree selalu mendapat perlawanan, terlebih Indonesia adalah negara muslim terbesar, yang berbeda ideologis dengan gerakan childfree dari negara liberalis. Islam mengajarkan muslimah bahwa melangsungkan keturunan adalah bagian dari fitrahnya sebagai perempuan untuk mempersiapkan generasi muslim. Fitrah perempuan adalah mengandung dan melahirkan, itulah sebabnya perempuan memiliki organ rahim dan sifat-sifat keibuan.

Diriwayatkan Ahmad, Rasulullah juga berpesan bahwa, “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak. Karena sesungguhnya, aku berbangga dengan banyaknya kamu di hadapan para Nabi di hari kiamat nanti”.

Sedangkan kesetaraan gender yang dikampanyekan feminis, mendukung perempuan agar tidak mengapa untuk tidak melangsungkan keturunan karena kesibukan karier, masalah keuangan, atau bahkan masalah lingkungan hidup. Seperti overpopulasi, pencemaran, kelangkaan sumber daya alam, dan macam-macam alasan lainnya yang tertulis lengkap di buku No Kids: 40 Reasons for not Having Children karya Corinne Maier.

Dari segi budaya dan tradisi, pernikahan dipandang sebagai perhelatan sakral dan agung dengan harapan dapat melangsungkan keturunan untuk melanjutkan suku, etnis, hingga bangsanya. Dengan demikian, bangsa Indonesia diharapkan tidak mengalami bencana demografi di masa berikutnya akibat krisis usia produktif yang disebabkan tingkat kelahiran yang rendah. Sebagaimana yang terjadi hari ini di negara-negara seperti Jerman, Singapura, dan Jepang yang memiliki tingkat kelahiran rendah sampai pemerintahnya dengan sukacita memberi hadiah bagi keluarga yang memiliki anak.

Oleh karena itu, jelas sudah bahwa childfree di Indonesia bertabrakan dengan agama dan budaya. Childfree adalah salah satu ide gaya hidup yang muncul di era modern. Sebagaimana eksistensi gaya hidup lainnya, manusia bebas memilih sesuai kehendaknya masing-masing. Namun, kepatuhan pada norma agama, hukum, atau kebiasaan juga perlu menjadi pertimbangan. Jika dilihat dari contoh kasus di atas, influencer yang memilih langkah childfree memang sedang hidup di luar negeri. Sehingga, menjadi tidak heran jika ia mengadopsi gaya hidup childfree, ketika dirasa fasilitas membesarkan anak dengan agama da budaya Indonesia tidak terpenuhi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *