Sekolah

Jangan Sering Ganti Kurikulum, Fokus pada Penyesuaian

Advertisements

Anggota Komisi X DPR, Sofyan Tan, mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu sering ganti kurikulum pendidikan, khususnya di tengah isu yang berkembang mengenai kemungkinan perubahan Kurikulum Merdeka setelah pergantian pemerintahan. Sofyan menilai bahwa mengganti kurikulum setiap kali ada perubahan menteri akan memunculkan tantangan besar bagi sistem pendidikan, terutama terkait dengan proses transisi yang memakan waktu, tenaga, dan sumber daya yang signifikan.

“Isu tentang perubahan kurikulum ini hampir selalu muncul setiap kali ada pergantian pemerintahan. Begitu menteri baru dilantik, perubahan kurikulum pun menjadi topik pembicaraan. Tentu saja, ini menuntut banyak usaha, baik dari pemerintah, sekolah, maupun tenaga pendidik,” ujar Sofyan dalam rapat kerja dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, pada 7 November 2024, yang kemudian dirilis melalui keterangan tertulis pada 8 November 2024.

 Kekhawatiran Masyarakat atas Pergantian Kurikulum

Pernyataan Sofyan ini merujuk pada keprihatinan yang semakin berkembang di masyarakat terkait kemungkinan perubahan kurikulum pendidikan. Banyak orangtua dan guru yang resah setelah mendengar kabar bahwa Kurikulum Merdeka, yang baru mulai diterapkan, berpotensi diganti lagi. Di media sosial, wacana ini bahkan sempat menjadi bahan perbincangan hangat, dengan banyak meme dan komentar yang menggambarkan kekhawatiran jika perubahan itu benar-benar terjadi.

Sofyan memahami kecemasan yang dirasakan masyarakat, terutama orangtua dan guru. “Anak-anak sudah mulai terbiasa dengan Kurikulum Merdeka, dan orangtua mereka juga tengah beradaptasi dengan perubahan yang ada. Tentu, perubahan besar yang terjadi lagi akan menambah beban bagi mereka,” tambahnya.

Dampak Pergantian Kurikulum Terhadap Infrastruktur Pendidikan

Sofyan juga menyoroti dampak dari perubahan kurikulum terhadap infrastruktur pendidikan yang ada, terutama berkaitan dengan SDM, yakni guru. Di Indonesia, terdapat sekitar 3,3 juta guru yang tersebar di berbagai tingkat pendidikan. Menurut Sofyan, perubahan kurikulum akan mempengaruhi hampir seluruh tenaga pengajar ini, yang harus menyesuaikan diri dengan kurikulum baru.

“Jika kurikulum kembali diganti, maka lebih dari 3 juta guru harus kembali belajar dan beradaptasi dengan sistem yang baru. Padahal, sebelumnya mereka sudah mengalami kesulitan dalam penyesuaian dengan kurikulum yang ada,” jelas Sofyan.

Untuk itu, ia menyarankan agar tidak perlu ada perubahan besar-besaran pada kurikulum. Menurutnya, cukup dengan menyesuaikan atau memperbaiki bagian-bagian yang memang dirasa kurang, tanpa harus mengganti seluruh sistem kurikulum. “Yang baik-baik harus dipertahankan, dan yang kurang baik diperbaiki. Perubahan itu penting, tapi tidak harus selalu ada perubahan besar karena dampaknya sangat signifikan,” tegasnya.

 Perubahan Kurikulum Bisa Perburuk Kesenjangan Pendidikan

Salah satu kekhawatiran besar terkait dengan perubahan kurikulum adalah potensi memperburuk kesenjangan pendidikan di Indonesia. Sofyan menjelaskan bahwa akses pendidikan di Indonesia sangat bervariasi, terutama antara daerah perkotaan dan daerah-daerah yang lebih terpencil. Perbedaan ini mencakup infrastruktur sekolah, kualitas tenaga pendidik, serta ketersediaan sumber daya pendidikan yang memadai.

“Indonesia memiliki berbagai kondisi sosial-ekonomi dan geografis yang berbeda. Akses ke pendidikan di daerah terpencil sering kali sangat terbatas. Di daerah-daerah ini, banyak sekolah yang masih kekurangan fasilitas dasar, seperti ruang kelas yang layak, sumber belajar yang memadai, dan bahkan tenaga pengajar yang berkualitas,” papar Sofyan.

Jika kurikulum diganti secara terus-menerus, sekolah-sekolah di daerah yang kurang berkembang ini akan semakin tertinggal. Mereka akan kesulitan mengejar ketertinggalan, baik dalam hal kualitas pendidikan maupun kesiapan untuk menghadapi perubahan kurikulum yang baru. “Sekolah-sekolah yang tertinggal akan semakin tertinggal, dan kualitas pendidikan di daerah-daerah tersebut akan semakin jauh dari standar yang ada di kota-kota besar,” ungkapnya.

Selain itu, perubahan kurikulum juga dapat berdampak pada psikologis siswa. Mereka harus kembali beradaptasi dengan sistem yang berbeda, yang dapat menambah beban mental bagi mereka. Oleh karena itu, Sofyan mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait perubahan kurikulum ini.

Fokus pada Peningkatan Kualitas Pendidikan, Bukan Perubahan Kurikulum

Sofyan juga menyarankan agar anggaran yang seharusnya digunakan untuk perubahan kurikulum lebih baik dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah-daerah yang masih membutuhkan perhatian. Ia mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, seperti perbaikan fasilitas sekolah yang rusak atau kurang memadai, serta pengadaan alat bantu pendidikan yang lebih memadai.

“Daripada terus-menerus mengganti kurikulum, lebih baik anggaran tersebut dialokasikan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan, terutama di daerah-daerah yang infrastrukturnya masih jauh dari kata layak. Banyak sekolah yang masih kekurangan kursi untuk siswa, bahkan atapnya sering bocor. Itu yang perlu diperbaiki dulu,” tegasnya.

Baca juga : 12 Ilmuwan Indonesia dan Penemuan yang Diakui Dunia

Penyesuaian Kurikulum Lebih Baik dari Pergantian

Secara keseluruhan, Sofyan Tan mengingatkan pemerintah untuk lebih bijaksana dalam mengelola perubahan kurikulum. Ia mengusulkan agar kebijakan pendidikan lebih berfokus pada penyesuaian dan perbaikan terhadap kurikulum yang sudah ada, daripada melakukan perubahan besar yang bisa menambah beban bagi para guru, siswa, dan orangtua. Dengan demikian, kesenjangan pendidikan antara daerah maju dan tertinggal dapat dikurangi, dan kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat secara merata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *