Belum Selesai Bayar Hutang Puasa?
Pada dasarnya, mengqada (mengganti) dan membayar hutang puasa haruslah dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadan berikutnya. Bagi mereka yang menunda tanpa alasan syar’i hingga tiba Ramadan berikutnya dan tetap belum melunasinya, akan mendapat dosa.
Hadits tentang Hukum Membayar Hutang Puasa
Sebagaimana yang disampaikan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berbunyi,
“Sebelumnya, saya memiliki hutang puasa Ramadan. Namun, saya hanya mampu menggantinya di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146)
Kisah Aisyah radhiyallahu ‘anha menunjukkan bagaimana beliau, karena kesibukan melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya mampu membayar utang puasanya di bulan Sya’ban. Dalam bulan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berpuasa, sehingga Aisyah dapat melunasi utang puasanya tanpa mengabaikan kewajibannya sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan,
“Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa secara penuh di luar bulan Ramadan. Begitu juga, saya tidak pernah melihat beliau berpuasa sebanyak di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalany mengomentari hadis ini dengan menyampaikan bahwa tidak boleh menunda qada (mengganti) puasa hingga datangnya Ramadan yang lain. (Fathul Bari, 4: 191)
Hadis ini memberikan pelajaran bahwa utang puasa harus diganti paling lambat di bulan Sya’ban (bulan ke-8, sedangkan bulan ke-9 adalah Ramadan). Bagi yang belum melunasinya hingga Ramadan berikutnya tanpa alasan yang diperbolehkan, akan mendapat dosa atas kelalaian tersebut.
Baca juga : Keberkahan dalam Membaca Sholawat Nabi
Menunda Membayar Hutang Puasa
Ada dua kondisi bagi yang menunda qada puasanya hingga Ramadan berikutnya:
Pertama: Memiliki alasan (uzur)
Misalnya, seseorang sakit yang berlanjut hingga datangnya Ramadan berikutnya atau seorang wanita melahirkan dan masih dalam masa menyusui di bulan Ramadan berikutnya. Mereka tidak berdosa karena penundaan qada tersebut, karena memiliki alasan yang sah. Tidak ada kewajiban bagi mereka selain membayar utang puasanya.
Syekh Bin Baz rahimahullah menjawab pertanyaan tentang seorang wanita yang melahirkan pada Ramadan tahun sebelumnya dan masih menyusui di Ramadan tahun berikutnya, yang belum sempat mengganti puasanya pada tahun sebelumnya. Beliau menyatakan bahwa jika menyusui akan membahayakan, maka boleh bagi wanita tersebut untuk tidak berpuasa hingga ia mampu. Ketika datang Ramadan berikutnya dan ia masih dalam masa menyusui serta tidak mampu berpuasa, dia boleh tidak berpuasa. Kemudian, saat mampu, ia harus mengganti puasanya, baik karena telah menyapih bayinya atau karena telah kuat untuk berpuasa, meskipun masih menyusui atau karena alasan lain yang membuatnya mampu berpuasa.
Intinya, jika sulit berpuasa karena menyusui, hamil, atau sakit, maka boleh berbuka dan tidak ada kafarat. Ketika mampu, utang puasa dapat dibayar, baik secara berturut-turut atau terpisah, dan tidak perlu membayar kafarat. (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi)
Kedua: Tanpa alasan (uzur)
Misalnya, seseorang memiliki kesempatan untuk mengganti puasanya namun tidak melakukannya hingga datang Ramadan berikutnya. Orang ini berdosa karena menunda kewajiban tersebut.
Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tetap harus mengganti puasanya, meskipun telah datang Ramadan berikutnya, dan harus melakukannya setelah Ramadan.
Terkait apakah ia juga wajib memberi makan orang miskin per hari yang ditinggalkannya, ada perbedaan pendapat di antara ulama.
Beberapa ulama berpendapat bahwa ia wajib memberi makan, merujuk pada contoh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib memberi makan selain mengganti puasa, merujuk pada firman Allah yang hanya menyebutkan mengganti puasa, tanpa menyebutkan memberi makan. (QS. Al-Baqarah: 185)
Pendapat ini dipilih oleh Imam Bukhari, yang mengatakan bahwa Allah tidak menyebutkan kewajiban memberi makan, hanya mengganti puasa. (Shahih Al-Bukhari, 3: 35)
Syekh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa jika pendapat sahabat bertentangan dengan Al-Qur’an, maka lebih baik dianggap anjuran daripada kewajiban. Menurutnya, yang benar adalah hanya mengganti puasa tanpa memberi makan, meskipun tetap berdosa atas penundaaannya. (Asy-Syarh Al-Mumti’, 6: 451)
Jadi, seseorang yang belum melunasi utang puasanya hingga datang Ramadan berikutnya tidak wajib memberi makan, hanya perlu mengganti puasa yang tertunda. Namun, memberi makan di samping mengganti puasa adalah tindakan baik. Selain itu, ia harus bertaubat kepada Allah dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut, karena tindakan tersebut adalah dosa yang harus ditaubati.
Periode Membayar Utang Puasa:
Seseorang yang memiliki utang puasa harus segera membayarnya sebelum memasuki bulan suci Ramadhan berikutnya.
Jika tidak, maka wajib membayar fidyah berdasarkan lipatan tahun. Contohnya, jika dua tahun maka dua mud per harinya, jika tiga tahun maka tiga mud per hari puasa yang ditinggalkannya, dan seterusnya