Opini

Agama dan Keniscayaan Sejarah

Advertisements

Oleh: Dr. Nanang Hasan Susanto, Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan

Agama merupakan aspek yang selalu menjadi bahan perbincangan utama bagi bangsa religius seperti Indonesia. Banyak sarjana melihat agama dari dua aspek.

Aspek pertama, agama dianggap berkontribusi dalam memandu seseorang/masyarakat dalam melakukan tindakan sosial. Batasan benar, salah, baik dan buruk, menjadi alasan utama seorang religius dalam melakukan tindakannya. Ancaman neraka, sekaligus janji surga, seringkali menjadi alat ampuh bagi seseorang/masyarakat dalam berperilaku.

Selain itu, agama juga berkontribusi, karena dapat menjadi pegangan spiritual seseorang. Dalam hal ini, beberapa penelitian seringkali mengungkap, seseorang yang percaya pada agama, memiliki ketahanan diri (self esteem) yang relatif lebih tinggi, dibanding orang yang tidak percaya pada agama.

Aspek kedua, agama seringkali dituding menjadi penyebab terjadinya tindakan intoleran, konflik, bahkan tindakan anarkhis dan terorisme. Meskipun banyak kalangan agamawan menyangkal: “jangan salahkan agamanya, karena tindakan itu dilakukan karena tidak memahami agama dengan baik”, tapi faktanya, berbagai tindakan intoleran itu dilakukan atas nama agama.

Terkait dengan aspek sejarah, tindakan intoleran seringkali dilakukan, karena penganutnya tidak mampu memahami ajaran agama dari aspek sejarah. Aspek sebab akibat, kondisi sebuah masyarakat ketika doktrin muncul dst, selalu berkelindan dengan datangnya agama. Inilah yang menyebabkan keberagamaan seseorang/ masyarakat, selalu berbeda antara satu dan lainnya, meskipun mengaku menganut agama yang sama.

Sebagai contoh, Islam di Arab, sangat berbeda dengan islam di Indonesia, Malaysia, Iran dst. Bahkan, di dalam Indonesiapun, Islam jawa, akan berbeda dengan Islam Batak, Melayu, Bugis, Sasak, dll.

Persoalan akan menjadi tambah rumit, jika agama sudah disisipi muatan kepentingan dan politik. Dalam hal ini, penyebaran agama oleh sebuah kelompok, dapat dibaca dari aspek kepentingan, untuk menyebarkan pemahaman tertentu, dan dengannya dapat menghegemoni kelompok tersebut. Pada aspek ini,  penyebaran agama seringkali bernuansa eksklusif.

Slogan sebagai satu-satunya jalan keselamatan, satu-satunya kebenaran dst, menjadi doktrin utama. Ini menyebabkan pemahaman keagamaan terlepas dari ruang sejarah. Agama beserta perangkat sucinya seolah-olah langsung datang dari langit dengan tiba-tiba, tanpa terkait dengan aspek sejarah. Kondisi ini bisa memicu tindakan intoleran, dengan memandang rendah kepercayaan, budaya, serta adat istiadat yang berbeda dengan agama asal.

Pada konteks Islam, doktrin agama yang turun, tidak bisa terlepas dari aspek sejarah. Berbagai ritual agama seperti sholat, zakat, puasa, haji dst, tidak tiba-tiba muncul berbarengan dengan misi kenabian Muhammad. Banyak sarjana mengungkap, bahwa berbagai doktrin tersebut sudah ada sebelum pengkuhan Nabi Muhammad sebagai Rasul.

Modifikasi dan pengembangan memang dilakukan, tapi bukan berarti doktrin tersebut betul-betul sesuatu yang baru, yang terlepas dari sejarah. Pada perkembangannya, berbagai doktrin itu pun berdialog dengan berbagai daerah lain yang memeluk Islam. Hasilnya, berbagai ritual agama, selalu berbeda antara satu dan lainnya, meskipun sama-sama memeluk Islam.

Keterkaitan antara agama dengan sejarah merupakan sebuah keniscayaan (hukum alam) yang tidak bisa dibantah. Memaksakan kemurnian agama sama persis Ketika diturunkan, sama saja dengan mengingkari ketetapan Tuhan (sunatullah) tersebut.

Kesadaran, bahwa agama tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah, merupakan modal penting menanamkan sikap toleran. Sebaliknya, tidak menyadari aspek sejarah pada agama, sangat berpotensi terjebak pada klaim kebenaran (truth klaim), mudah mengkafirbid’ahsesatkan, bahkan bisa mendorong pada tindakan anarkis dan radikalis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *