7 Biografi Tokoh Sastrawan Indonesia dan Perjalanan Kariernya
Sastra Indonesia telah melahirkan banyak tokoh sastrawan yang berpengaruh, masing-masing dengan perjalanan karier yang menginspirasi. Dengan mengenal biografi singkat para sastrawan ini, kita dapat memperluas pengetahuan tentang kontribusi mereka terhadap perkembangan sastra di Tanah Air. Berikut adalah tujuh tokoh sastrawan Indonesia yang patut dikenang.
1. Ajip Rosidi
Ajip Rosidi, lahir di Majalengka pada 31 Januari 1938, adalah seorang budayawan dan sastrawan yang memiliki peranan penting dalam sastra Indonesia dan sastra Sunda. Sejak usia 14 tahun, tepatnya tahun 1952, ia sudah mulai menulis. Karya pertamanya dimuat dalam majalah kebudayaan, seperti Mimbar Indonesia dan Zenith. Diakui oleh H.B. Jassin sebagai bagian dari Angkatan 66, Ajip menghasilkan banyak karya, termasuk kumpulan puisi Ular dan Kabut (1973) dan novel Perjalanan Pengantin (1958).
2. Taufiq Ismail
Taufiq Ismail, lahir di Bukittinggi pada 25 Juni 1935, adalah sosok yang tak asing lagi dalam dunia sastra Indonesia. Sejak kecil, ia telah berpindah-pindah tempat tinggal, menyelesaikan pendidikan di berbagai kota. Setelah menamatkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia pada tahun 1963, ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Taufiq juga dikenal sebagai pendiri dan pemimpin majalah Horison, dan telah mewakili Indonesia di berbagai festival sastra internasional. Berkat prestasinya, ia menerima sejumlah penghargaan, termasuk Anugerah Seni dari Pemerintah RI.
3. Willibrodus Surendra Broto (W.S. Rendra)
W.S. Rendra, yang lahir di Solo pada 7 November 1935, adalah seorang penyair dan dramawan yang dikenal dengan julukan “Burung Merak”. Minat sastranya mulai terlihat saat ia di SMP, di mana ia aktif menulis puisi dan drama. Puisi pertamanya dipublikasikan pada tahun 1952. Rendra dikenal sebagai sastrawan independen dan menghasilkan karya-karya yang banyak dikenang, seperti Balada Orang-Orang Tercinta dan Blues untuk Bonie. Ia meninggal pada 6 Agustus 2009, namun warisan sastranya tetap hidup.
4. Chairil Anwar
Chairil Anwar, lahir di Medan pada 22 Juli 1922, adalah penyair terkemuka yang dianggap pelopor Angkatan 45 dalam sastra Indonesia. Ia dikenal karena pembaruan yang dibawanya dalam puisi Indonesia. Memulai karier menulisnya pada tahun 1942 dengan sajak berjudul “Nisan”, Chairil menulis hingga akhir hayatnya pada tahun 1949. Karya-karya terkenalnya, seperti “Derai-Derai Cemara” dan “Aku Berada Kembali”, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, menjadikannya salah satu penyair paling berpengaruh.
5. Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati
Lahir di Bukittinggi pada 7 Februari 1899, Abas Sutan Pamuntjak Nan Sati merupakan seorang sastrawan yang kerap menggunakan nama samaran dalam berkarya, seperti Antares. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang memudahkan akses pendidikan. Abas mulai menulis sejak usia 15 tahun dan banyak karyanya yang dimuat di surat kabar. Ia diakui sebagai pengarang periode 1900-1933 oleh Ajip Rosidi, dengan berbagai karya dalam bentuk novel, puisi, dan terjemahan buku-buku pelajaran.
6. Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana, lahir di Natal, Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908, dikenal sebagai sastrawan yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Barat. Ia menempuh pendidikan di berbagai institusi, termasuk menjadi dosen di Universitas Indonesia. Pada tahun 1933, ia mendirikan majalah Poedjangga Baroe yang berfokus pada pembaruan sastra. Novel-novelnya, seperti Layar Terkembang dan Tak Putus Dirundung Malang, serta karya-karya esainya tentang bahasa dan budaya, membuatnya dikenang hingga kini.
Baca juga : Enam Dosen Unhas Masuk dalam 2% Peneliti Teratas Dunia
7. Matu Mona
Matu Mona, lahir pada 21 Juni 1910 dengan nama asli Hasbullah Parindury, adalah seorang sastrawan yang dikenal karena karyanya dalam bentuk novel picisan. Ia menempuh pendidikan di St. Anthony’s International School dan kemudian berkarier sebagai guru sebelum menjadi redaktur di harian Pewarta Deli. Matu Mona juga aktif di dunia jurnalistik, memimpin beberapa majalah, dan menulis naskah sandiwara, termasuk yang mengkritik penjajahan.
Dengan mengamati perjalanan hidup dan karya para tokoh ini, kita bisa memahami betapa kaya dan beragamnya sastra Indonesia, serta kontribusi yang telah mereka berikan dalam memperkaya khazanah budaya dan sastra Tanah Air.

