3 Jenis Cuaca Ekstrem yang Merusak Akibat Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah memperburuk anomali cuaca, yang semakin sulit diprediksi di Indonesia, negara kepulauan di garis khatulistiwa. Mari kita kenali tiga jenis cuaca ekstrem dalam skala menengah yang perlu diwaspadai:
Squall line
Fenomena cuaca ini terbentuk dari garis awan kumulonimbus yang membentang panjang dan bisa menciptakan energi dahsyat. Squall line dapat menyebabkan badai dan angin kencang, serta banjir rob di daerah pesisir. Rekor penundaan musim hujan akibat El Nino pada 2023-2024 bahkan melampaui rekornya pada 1997-1998. Pengamatan dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer menunjukkan squall line yang melintasi Sumatra hingga Bali dalam waktu sekitar enam jam.
Bow echo
Fenomena ini merupakan varian dari squall line, berbentuk melengkung seperti busur atau bumerang. Terjadi akibat adanya pusaran angin di kedua ujung garis, dengan awan downburst di tengahnya yang menyebabkan hujan deras dan angin puting beliung. Bow echo pernah merusak sekitar 361 rumah di Cimenyan, Bandung, pada Mei 2021.
Mesoscale convective complex (MCC)
MCC terbentuk dari kluster awan yang saling bergabung membentuk satu bulatan besar, menciptakan hujan ekstrem selama berhari-hari. Contoh terjadi di Bandung pada Maret 2021, menyebabkan ribuan rumah terendam. MCC kembar juga bisa terjadi, seperti yang menyebabkan banjir bandang di Luwu, Sulawesi Selatan, pada Juli 2020, dengan korban jiwa dan ribuan pengungsi.
Baca juga : Traktat Laut lepas untuk Perlindungan Laut Global
Prediksi cuaca ekstrem menjadi semakin penting di tengah perubahan iklim. Indonesia membutuhkan sistem yang lebih baik untuk mengantisipasi cuaca ekstrem, serta koordinasi yang lebih baik antara lembaga seperti BMKG dan BNPB dengan pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan demikian, pencegahan dini dapat ditingkatkan, dan masyarakat lebih siap menghadapi cuaca ekstrem yang mungkin lebih sering terjadi di masa depan.