Penelitian

Tiga Kelemahan Pengembangan Kapasitas Inovasi di Indonesia

Advertisements

Para ahli dari berbagai bidang di Indonesia melakukan riset mendalam mengenai pengembangan kapasitas inovasi di negara ini. Mereka menemukan tiga kelemahan utama dan menawarkan solusi konkret. Tim ini terdiri dari anggota program Regional Entrepreneurship Acceleration Program (REAP) di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan mencakup tokoh-tokoh penting seperti Eddi Danusaputro dari BNI Venture, Marina Kusumawardhani dari MIT REAP, dan Prof Nizam, mantan Dirjen Dikti Kemendikbudristek, bersama akademisi dan pemimpin industri lainnya.

 Keterkaitan Kewirausahaan dan Inovasi

Salman Subakat, CEO NSEI-Paragon dan co-champion program MIT REAP, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sangat bergantung pada peningkatan jumlah dan kapasitas kewirausahaan. Namun, menurut framework MIT, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan dua pilar: kapasitas kewirausahaan dan kapasitas inovasi. Hal ini mirip dengan kesuksesan Apple, yang tidak hanya bergantung pada kemampuan kewirausahaan Steve Jobs, tetapi juga pada inovasi teknologi yang digagas oleh Steve Wozniak.

Selama periode pasca-Perang Dunia II, sekitar 85% pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat didorong oleh kemajuan dalam sains dan teknologi. Di antara negara bagian yang berkontribusi kecil terhadap GDP AS, California, dengan keberadaan Silicon Valley, menyumbang hingga 14,5%. Oleh karena itu, mengabaikan inovasi bisa membuat Indonesia tertinggal dari kompetisi global yang semakin ketat.

 Tiga Masalah Utama dalam Kapasitas Inovasi

  1. Pendanaan Inovasi

Riset menunjukkan bahwa pendanaan untuk riset dan inovasi di Indonesia pada tahun 2022 hanya mencapai sekitar 0,24% dari GDP. Eddi Danusaputro, Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia, menegaskan bahwa pendanaan pemerintah adalah komponen krusial bagi perusahaan inovasi untuk mengatasi tantangan, seperti fase “death valley” di mana banyak startup kesulitan mendapatkan dana di tahap awal.

Sebagai perbandingan, di tahun yang sama, pendanaan inovasi di Amerika Serikat mencapai 3,4% dari GDP, sedangkan China mencatat angka 2,4%. Untuk mengatasi masalah ini, para pakar merekomendasikan peningkatan alokasi anggaran untuk riset dan inovasi dari pemerintah, serta penciptaan dana khusus untuk mendukung inovasi. Dana ini bisa berasal dari kontribusi BUMN atau sumbangan alumni universitas, seperti yang dilakukan oleh institusi terkemuka di luar negeri.

  1. Hilirisasi Inovasi

Salah satu tantangan besar dalam inovasi adalah hilirisasi produk, yaitu memastikan bahwa ada pembeli akhir yang jelas untuk inovasi tersebut. Marina Kusumawardhani, project manager MIT REAP, mencatat bahwa produk inovasi sering kali langsung dijual kepada konsumen tanpa analisis pasar yang cukup. Hal ini menyebabkan banyak produk tidak terjual karena tidak memenuhi kebutuhan konsumen.

Idealnya, pemerintah dan industri harus berperan sebagai pembeli akhir (B2G dan B2B). Contohnya, inovasi di Silicon Valley banyak didorong oleh permintaan dari Kementerian Pertahanan AS, yang bertindak sebagai pembeli utama untuk berbagai teknologi baru. Indonesia sudah memiliki inisiatif seperti program Kedaireka, namun perlu lebih diarahkan untuk membiayai kolaborasi antara penelitian dan industri.

  1. Kurangnya Budaya Inovasi di Antara Pemangku Kepentingan

Kurangnya komunikasi antara universitas, industri, dan pemerintah menjadi penghambat bagi pengembangan inovasi. Dr. Yoyo Suhoyo, akademisi dari Universitas Gadjah Mada, menyarankan perlunya platform dialog yang memungkinkan ketiga entitas ini berkolaborasi dan berbagi informasi mengenai produk inovasi yang dibutuhkan. Science technoparks yang sudah dibangun di berbagai universitas bisa menjadi tempat yang ideal untuk dialog semacam ini.

Selain itu, penting untuk meningkatkan kerjasama riset internasional dan edukasi untuk para pendiri startup. Mengadakan pelatihan bagi inovator di industri bisa membantu perusahaan tetap terhubung dengan perkembangan teknologi terbaru.

 Menghadapi Tantangan Inovasi

Para pakar menyadari bahwa untuk mengejar ketertinggalan dalam teknologi inovasi, Indonesia harus siap melakukan lompatan kuantum (leapfrogging) dalam bidang-bidang strategis. Meskipun saat ini terlihat sulit untuk beralih ke teknologi canggih seperti AI, bioteknologi, atau cybersecurity, melakukan lompatan besar adalah satu-satunya cara untuk bersaing di kancah global.

Dengan merangkul kolaborasi yang lebih baik antara semua pihak terkait dan meningkatkan dukungan terhadap inovasi, Indonesia dapat menciptakan ekosistem yang mendukung kemajuan teknologi dan inovasi yang lebih berkelanjutan. Ini adalah langkah penting agar Indonesia tidak hanya menjadi peserta dalam perekonomian global, tetapi juga pemimpin yang mampu berkontribusi secara signifikan dalam perkembangan teknologi dan inovasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *