Sekolah

Siswa Palestina Memulai Tahun Ajaran Baru di Tenda

Advertisements

Setelah hampir 10 bulan pengeboman oleh Israel, banyak sekolah di Palestina hancur atau berubah fungsi menjadi tempat pengungsian. Bagaimana nasib para siswa yang terdampak?

Sekitar 630.000 siswa di Palestina terpaksa berhenti sekolah akibat pengeboman, terpaksa mengungsi dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Kementerian Pendidikan Palestina mengungkapkan pada Selasa (21/8/2024) bahwa 186 sekolah di Gaza mengalami kerusakan parah atau hancur total. Meskipun begitu, kementerian memutuskan untuk melanjutkan kelas melalui tenda-tenda darurat dan pendidikan daring.

Namun, Salama Marouf, juru bicara kantor media pemerintah Gaza, menyatakan bahwa perencanaan pendidikan saat ini hampir mustahil dilakukan. “Saat ini tidak mungkin untuk membahas atau merencanakan apapun terkait otoritas pendidikan di Gaza karena tidak ada kapasitas untuk mengadakan pertemuan atau berkonsultasi mengenai rincian tersebut,” katanya kepada The National.

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang mengelola sekolah-sekolah di Gaza, mengungkapkan bahwa mereka tidak berencana untuk memulai pendidikan formal dalam waktu dekat. “Kami belum memiliki pembaruan mengenai dimulainya tahun ajaran baru. Sejak 1 Agustus, kami hanya melaksanakan kegiatan hiburan sebagai bentuk pendidikan nonformal,” ujar juru bicara UNRWA, Inas Hamdan.

 Kekhawatiran Orang Tua tentang Dampak Genosida pada Anak-anak

Orang tua seperti Rasha Yahya, 31 tahun, sangat khawatir tentang dampak genosida terhadap anak-anak mereka. “Ini bukan hanya soal kehilangan pendidikan. Anak-anak di Gaza telah kehilangan ketenangan pikiran, kenangan, permainan, dan kehidupan nyaman mereka,” ungkap Yahya, yang memiliki seorang putri berusia 7 tahun.

Baca juga : Pengertian Gempa Tektonik dan Penyebabnya

Yahya merasa sulit membayangkan kondisi normal seperti sebelum perang dan menyerukan perlunya program-program besar untuk membantu anak-anak mendapatkan kembali sebagian dari kehidupan mereka sebelum perang. “Anak-anak membutuhkan dukungan besar dari Kementerian Pendidikan dan UNRWA untuk berintegrasi kembali ke dalam proses pendidikan. Pendidikan tatap muka sangat penting untuk membantu mereka memperbaiki perilaku dan kebiasaan buruk yang mungkin mereka pelajari selama perang,” katanya.

Sementara itu, Haneen Abu Zer, 28 tahun, juga mengungkapkan kekhawatirannya. Meskipun ia percaya bahwa memulai pendidikan adalah langkah penting untuk kedua anaknya yang masih di taman kanak-kanak dan kelas satu, ia merasa anak-anaknya belum siap untuk belajar. “Saya mencoba mengajari putri saya membaca dan menulis, tapi saya kesulitan karena dia masih di kelas satu dan tahap pendidikan ini memerlukan bantuan spesialis,” ujar Abu Zer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *