Salah Jurusan dan Akar Masalah Pendidikan Kita
Lebih dari delapan puluh persen mahasiswa di seluruh Indonesia diketahui salah memilih jurusan, berdasarkan laporan Irene Guntur dari Integrity Development Flexibility. Angka ini menunjukkan tren yang belum menurun signifikan hingga saat ini. Salah satu penyebab utamanya adalah kebingungan siswa lulusan SMA atau sederajat terhadap potensi diri mereka, sehingga sering kali mengikuti tren atau pertimbangan tidak mendalam saat memilih jurusan kuliah.
Kasus salah jurusan hanya mencerminkan salah satu dari banyak masalah dalam sistem pendidikan yang mendasar. Sistem ini sering kali gagal menghargai dan mengoptimalkan potensi unik setiap siswa. Alih-alih memperhatikan kecerdasan khas tiap anak, sistem pendidikan sering kali mengabaikannya dengan kurikulum yang terlalu standar dan penekanan pada penguasaan materi pelajaran umum.
Akibatnya, proses belajar tidak efektif. Meskipun siswa menghabiskan bertahun-tahun di sekolah, mereka sering kali tidak mengembangkan kecakapan yang khusus, bahkan kesulitan dalam literasi dasar. Lant Pritchett dari Center for Global Development menyoroti bahwa Indonesia, bersama banyak negara berkembang lainnya, sukses dalam menyediakan akses sekolah namun gagal dalam memastikan proses pembelajaran yang bermakna; “schooling ain’t learning.”
Idealnya, masalah ini dapat dihindari jika pemerintah benar-benar menjalankan amanat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya (Bab V Pasal 12 ayat 1b).
Pendekatan Pendidikan Berbasis Hak Individu
Untuk mewujudkan amanat tersebut, pemerintah perlu menerapkan pendekatan pendidikan yang mengakui dan menghormati kecerdasan, minat, dan bakat unik setiap peserta didik. Pendekatan pendidikan individual, yang didasarkan pada teori psikologi individual Alfred Adler, menekankan pada penghargaan terhadap perbedaan dan memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, kecepatan, dan cara mereka sendiri.
Pendidikan individual memungkinkan siswa untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka. Materi pembelajaran didasarkan pada pengalaman langsung siswa yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Pendekatan ini tidak hanya memenuhi amanat Undang-Undang Dasar secara lebih efektif, tetapi juga memungkinkan setiap siswa untuk mengembangkan potensi mereka sejak dini, mengurangi risiko salah pilih jurusan yang sering terjadi.
Namun, pada kenyataannya, sistem pendidikan formal di Indonesia masih menerapkan pendekatan klasikal yang tidak memadai. Sistem ini memperlakukan semua siswa secara seragam dalam satu kelas dengan kurikulum yang sama, mengajar dengan cara yang serupa, dan menilai hasil belajar dengan ujian standar.
Pendekatan pendidikan klasikal ini bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan tidak mengakui keunikan setiap siswa. Ini tidak hanya membatasi kemajuan siswa tetapi juga menciptakan berbagai masalah dalam pendidikan, termasuk kesulitan dalam penguasaan literasi dasar dan kesiapan kerja yang rendah. Dengan kata lain, pendekatan klasikal adalah sumber utama masalah pendidikan di Indonesia dan di banyak negara lain.
Sayangnya, pendekatan ini masih dominan di 399,376 satuan pendidikan di Indonesia, termasuk 38,328 sekolah menengah atas baik negeri maupun swasta. Meskipun secara hukum sah berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 053/U/2001, pendekatan ini jelas tidak memenuhi standar yang seharusnya.
Perlunya Payung Hukum untuk Pendidikan Individual
Di sisi lain, praktik pendidikan individual yang dapat mengembangkan minat dan bakat siswa saat ini hanya dilakukan secara terbatas dan sering kali bersifat eksperimental. Sekolah rumah, sanggar belajar, dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menyediakan alternatif untuk pendidikan formal, meskipun posisi mereka masih marginal dalam sistem pendidikan nasional.
Namun, pendidikan individual belum memiliki landasan hukum yang jelas dan tidak memiliki dukungan material yang memadai. Riset dari Dardiri Hasyim menunjukkan bahwa meskipun ada inisiatif seperti Program Pendidikan Individual (PPI) yang diluncurkan oleh Pusat Kurikulum dan Pembelajaran pada 2022 untuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK), namun hal ini masih jauh dari menjadi solusi utama dalam sistem pendidikan yang lebih luas.
Baca juga : Unnes Buka Program Studi S1 Ilmu Komunikasi
Kurikulum Merdeka, yang memberikan kebebasan bagi satuan pendidikan untuk memilih program belajar dan menggantikan Ujian Nasional dengan Asesmen Nasional, adalah langkah awal yang positif menuju pendidikan yang lebih inklusif dan mengakui keunikan setiap siswa. Namun, perlu fokus yang lebih besar untuk mengimplementasikan kurikulum ini secara efektif di semua sekolah, tanpa tergantung pada evaluasi global semacam PISA yang sering kali tidak mencerminkan kondisi lokal.
Jika pendekatan klasikal dapat digantikan oleh pendekatan pendidikan individual yang lebih baik, bukan hanya hasil evaluasi internasional yang akan membaik, tetapi juga tingkat inovasi dalam pendidikan akan meningkat. Lebih dari itu, Indonesia bisa memimpin dalam memenuhi hak asasi manusia dalam pendidikan. Penting untuk pemerintahan selanjutnya, di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, untuk melanjutkan Kurikulum Merdeka secara lebih konkret dan mendorong peraturan hukum yang mendukung praktik pendidikan individual.