Liem Koen Hian, Pejuang Pers dan Wujudkan Indonesia
Liem Koen Hian adalah tokoh yang memiliki nasib tak terduga dalam hidupnya, menurut memoarnya yang ditulis oleh Kwee Thiam Tjing dalam “Menjadi Tjamboek Berdoeri” (2010). Salah satu kejadian menarik terjadi di toko Belanda di Gemblongan, Surabaya, saat Koen Hian berani menghadapi seorang nona Indo-Belanda yang cantik di meja kasir. Saat itu, Koen Hian berpura-pura bertanya harga barang dan menanyakan jam tutup toko dengan penuh gaya. Namun, respon keras dari nona itu membuat situasi berubah cepat. Nona itu berlari dan membawa atasannya, seorang Belanda yang besar.
Tak gentar, Koen Hian mendekati Belanda tersebut. Saat sang Belanda terlihat lengah, Koen Hian dengan cepat menampar Belanda tersebut hingga terjatuh. Meskipun sang Belanda kemudian pergi tanpa menyerang balik, Koen Hian tetap siap menghadapi konsekuensi jika polisi datang. Di perjalanan pulang, Kwee Thiam Tjing bertanya pada Koen Hian mengapa ia memegang lengan sang Belanda.
“Gua mau kir (taksir) dulu spier (kekuatan otot)-nya. Ternyata lembek, jadi gua toyor saja!” jawab Koen Hian tanpa gentar.
Perjalanan Hidup Liem Koen Hian
Liem Koen Hian lahir di keluarga pedagang di Banjarmasin pada tahun 1897. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Hollandsch Chineesche School (HCS), Koen Hian awalnya terlibat dalam bisnis kongsi swasta. Namun, panggilan jurnalistik memanggilnya. Pada tahun 1915, ia merantau ke Surabaya dan memulai karirnya di dunia jurnalistik dengan bergabung dalam surat kabar Tjoen Tjhioe. Dua tahun kemudian, Koen Hian mendirikan koran Soo Lim Po.
Meskipun karir jurnalistiknya mengalami naik turun, Koen Hian tidak pernah kehilangan semangat. Ia pernah berdagang di Aceh dan menjadi pemimpin redaksi Sinar Soematra di Padang sebelum akhirnya kembali ke Surabaya. Di sini, Koen Hian dipercaya sebagai pemimpin redaksi Pewarta Soerabaja oleh The Kian Sing, yang memberinya kesempatan untuk lebih mendalami pergerakan nasional Indonesia, terutama dari pemikiran Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.
Kontribusi dalam Mendukung Nasionalisme Indonesia
Pada pertengahan 1920-an, Koen Hian mulai meninggalkan pandangan nasionalisme Tiongkok dan beralih mendukung nasionalisme Indonesia. Bergabung dengan Soeara Publiek pada 1 April 1925 sebagai pemimpin redaksi, Koen Hian memberikan kontribusi signifikan dengan mengkritik keras kolonialisme dan mendukung gerakan nasionalis Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, Soeara Publiek awalnya sukses dengan kontrak iklan dari perusahaan besar seperti NV. Borsumij dan NV. Hagelmeyer. Namun, setelah koran ini mengambil sikap kritis terhadap pemerintah kolonial dan mendukung nasionalisme Indonesia secara terbuka, dukungan finansial dari pengiklan menurun drastis. Soeara Publiek mulai mengalami kesulitan ekonomi, dan akhirnya gulung tikar setelah Koen Hian dipersalahkan atas skandal keuangan yang tidak terbukti.
Koen Hian kemudian memimpin Sin Jit Po dengan semangat yang sama, mengkritik tajam pemerintah kolonial dan mendukung gerakan perlawanan. Meskipun sering ditangkap karena tulisannya, Koen Hian tidak pernah mundur. Skandal finansial lain menimpa Sin Jit Po dan Soeara Publiek, membuatnya harus ditutup.
Namun, Koen Hian tidak pernah menyerah. Bersama Tan Ping Lie, ia mendirikan Sin Tit Po sebagai penerus Sin Jit Po dan terus mempertahankan semangat kritisnya terhadap kolonialisme dan pendukungnya. Koen Hian juga tidak segan-segan mengkritik elite Tionghoa yang pro-Belanda dan menentang mereka yang tidak mendukung kemerdekaan Indonesia.
Mendirikan Partai Tionghwa Indonesia
Pada tahun 1932, Koen Hian mendirikan Partai Tionghwa Indonesia (PTI) dengan tujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menentang diskriminasi rasial. PTI berhasil meraih dukungan luas di Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta berhasil merebut lima kursi dalam pemilihan Gemeente Raad Surabaya pada tahun 1934.
Setelah Perang Dunia II, Koen Hian tetap aktif dalam gerakan kemerdekaan dan menjadi anggota KNIP. Namun, pergolakan politik pasca-kemerdekaan membuatnya semakin kecewa. Pada 1951, ia ditangkap dalam Razia Sukiman yang menargetkan anggota komunis, meskipun ia tidak memiliki afiliasi langsung dengan PKI.
Kekecewaan terhadap politik Indonesia yang semakin memburuk membuat Koen Hian memutuskan untuk melepas kewarganegaraan Indonesia. Ia menghabiskan sisa hidupnya dengan menjauhi politik dan mengelola sebuah apotek di Medan. Liem Koen Hian meninggal pada 5 November 1952, membawa kekecewaannya terhadap Indonesia yang belum sepenuhnya dapat menerima perbedaan.
Baca juga : Cut Nyak Dhien: Pahlawan Wanita dari Aceh
Kisah hidup Liem Koen Hian mencerminkan perjuangan dan dedikasi untuk Indonesia merdeka, serta ketegasannya dalam mempertahankan prinsip-prinsipnya. Meskipun dihadapkan pada berbagai rintangan dan pengkhianatan, Koen Hian tetap teguh pada keyakinannya untuk Indonesia sebagai tanah air bagi semua yang mendiami negeri ini.
Kesih kehidupan Liem Koen Hian bukti gambaran perjuangan biau dalam mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.