Kurangnya Minat Anak Muda Terhadap Karier Pertanian
Minat anak muda Indonesia untuk berkarier di sektor pertanian tampaknya semakin menurun. Sektor ini sering dianggap kurang menarik dibandingkan dengan bidang lainnya, dan pandangan ini tidak hanya muncul dari anak muda itu sendiri. Faktanya, akses terhadap sumber daya pertanian seperti lahan dan teknologi masih sangat terbatas bagi para petani, dan sering kali mereka menghadapi tekanan dari tengkulak serta pendapatan yang tidak stabil.
Kondisi ini berkontribusi pada ketidakpedulian anak muda terhadap pertanian, yang berpotensi membuat keberlanjutan sektor ini semakin rentan. Penelitian terbaru mengungkapkan tantangan ini sebagai bagian dari proyek Supporting Holistic and Actionable Research in Education (SHARE), yang dikelola oleh Unit Kegiatan Khusus Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (UKKPPM) Smart City Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan University of Notre Dame.
Tantangan di Jawa Barat
Penelitian yang didanai oleh United States Agency for International Development (USAID) ini dilakukan di Jawa Barat, sebuah provinsi yang dianggap progresif dengan potensi besar dalam inovasi agrikultur. Jawa Barat juga dikenal karena dukungan pemerintah daerah yang agresif dan penerapan inovasi digital. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Indonesia, sebagai negara agraris, masih belum memiliki ‘Silicon Valley’ untuk sektor pertanian.
Dalam penelitian ini, tim peneliti mewawancarai berbagai pihak, termasuk 2-4 responden dari masing-masing 23 perguruan tinggi negeri dan swasta, petinggi kampus, mahasiswa, serta perwakilan dari 9 lembaga pemerintah seperti Kemendikbudristek, BRIN, Bappenas, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah. Selain itu, mereka juga melibatkan 6 institusi dari sektor industri dan swasta, serta 5 organisasi nirlaba (NGO). Penelitian ini melibatkan 5 kali diskusi kelompok terpumpun (FGD) bersama 39 institusi sejak awal 2022.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya untuk inovasi pertanian sering kali lebih besar daripada manfaat yang diperoleh petani. Penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi tidak selalu menjawab kebutuhan industri dan petani, sehingga tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Selain itu, perantara yang seharusnya mendukung logistik sering kali malah menyimpang dan merugikan kesejahteraan petani.
Rekomendasi untuk Kolaborasi dan Insentif
Ahmad Gamal, Principal Investigator SHARE Indonesia dan Advisor Smart City UI, menyampaikan hasil penelitian dalam diseminasi di Fairmont Hotel Jakarta. Menurutnya, meskipun koordinasi antara perguruan tinggi dan sektor agrikultur di Jawa Barat tampak kuat, masih ada masalah dalam komunikasi dan kolaborasi antara berbagai aktor. “Pemerintah menganggap koordinasinya kuat, namun peneliti dan sektor swasta sering kali tidak memiliki komunikasi yang baik,” ujar Gamal.
Peneliti merekomendasikan perlunya kemitraan yang lebih erat antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta untuk mengatasi tantangan di sektor pertanian. Mereka juga menyarankan agar solusi yang dirancang mempertimbangkan kelayakan ekonomi, manfaat nyata, dan aspek budaya. Untuk pemerintah, Gamal menekankan perlunya insentif bagi lulusan perguruan tinggi agar mereka dapat bertahan dalam penelitian, khususnya di bidang inovasi pertanian.
Kendala di Cimahi dan Dukungan untuk Generasi Z
Di Cimahi, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Cimahi Techno Park, Jana Hermawan, menyoroti beberapa rekomendasi untuk mendorong inovasi di kalangan anak muda. Jana mengungkapkan bahwa Cimahi Techno Park sering berinteraksi dengan anak muda yang memiliki inovasi di bidang pertanian, seperti pengembangan jamur shiitake, kandang ayam, dan tepung cassava. Startup Egrology, misalnya, mengembangkan “growing chamber” jamur shiitake dengan kontrol pintar untuk meningkatkan efisiensi produksi.
Namun, Jana juga mencatat adanya kesenjangan antara dukungan pemerintah dan kebutuhan anak muda. Misalnya, ada kebingungan mengenai masalah kekayaan intelektual dan akses ke riset ilmiah yang penting untuk pengembangan produk. Jana juga menyoroti tantangan dalam memperoleh bibit jamur impor karena masa karantina yang panjang, sementara produk pertanian lainnya lebih mudah diimpor.
Baca juga : Ancaman Kehilangan 115 Pulau Indonesia pada 2100
Jana berpendapat bahwa pemerintah pusat dan provinsi perlu lebih aktif dalam mendukung Generasi Z untuk memasuki karier di sektor pertanian. Dengan dukungan yang lebih baik, diharapkan Generasi Z dapat mengurangi angka pengangguran dan lebih mandiri dalam mengembangkan karier serta usaha mereka di bidang pertanian.
“Dukungan dari pemerintah pusat dan provinsi sangat diperlukan untuk membantu anak muda terjun ke karier pertanian dan mengatasi kendala yang ada. Jika tidak, kita akan menghadapi masalah pengangguran yang semakin serius di masa depan,” tutup Jana.
Melalui upaya kolaboratif dan dukungan yang lebih solid, diharapkan sektor pertanian Indonesia dapat menarik minat anak muda dan memastikan keberlanjutannya di masa mendatang.