Jejak Sejarah Kerajaan Kanjuruhan dan Prasasti Peninggalannya
Kerajaan Kanjuruhan, yang pernah berpusat di wilayah yang kini menjadi Kota Malang, Jawa Timur, meninggalkan jejak bersejarah yang kaya melalui prasasti Dinoyo. Prasasti ini, yang berangka tahun 682 Śaka atau setara dengan 760 Masehi, kini disimpan dengan aman di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan
Salah satu tokoh penting dari Kerajaan Kanjuruhan adalah Raja Gajayana, yang memerintah pada masa tersebut. Prasasti Dinoyo memberikan bukti nyata tentang eksistensi dan keberadaan kerajaan ini, serta menjelaskan banyak aspek kehidupan dan kebudayaannya. Di samping prasasti, situs-situs bersejarah seperti Candi Badut juga menjadi saksi bisu dari masa gemilang Kerajaan Kanjuruhan.
Candi Badut, yang terletak di desa Karang Besuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, merupakan salah satu peninggalan monumental dari zaman Kerajaan Kanjuruhan. Jacques Dumarcay, seorang ahli bangunan kuno, mencatat bahwa candi ini mengalami dua kali renovasi besar pada abad ke-9 dan ke-13, menunjukkan pentingnya peran serta perkembangan kerajaan pada masa tersebut.
Arsitektur Candi Badut, dengan ciri khas Hindu-Siwa yang menonjol, sejalan dengan temuan Prasasti Dinoyo yang mengandung penggunaan Bahasa Sanskerta dan pengaruh Bahasa Jawa Kuno. Prasasti ini ditemukan dalam tiga pecahan yang tersebar di tempat berbeda, dengan yang pertama ditemukan pada tahun 1904 di Desa Dinoyo (kemungkinan sebenarnya ditemukan di Desa Merjoyo), dan pecahan kedua serta ketiga ditemukan pada tahun 1923 di Desa Merjosari. Temuan ini memperkaya pemahaman kita tentang struktur sosial, politik, dan kebudayaan Kerajaan Kanjuruhan pada masa itu.
Isi dari Prasasti Dinoyo memberikan gambaran tentang berbagai kegiatan dan peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Gajayana. Prasasti ini tidak hanya mencatat peresmian bangunan-bangunan suci seperti Arca Agastya, tetapi juga menyediakan informasi tentang silsilah penguasa Kerajaan Kanjuruhan, dimulai dari Devasiṃha yang kemudian dikenal sebagai Gajayana. Putera Gajayana, Uttajana, menikah dengan Jananiya, menandai kelanjutan garis keturunan kerajaan ini.
Menurut Sri Soejatmi Satari dalam kajiannya tentang Prasasti Dinoyo, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Raja Gajayana telah meninggal ketika prasasti itu diukir, dengan kata “smṛtaḥ” yang mengisyaratkan penghormatan kepada almarhum. Upacara peresmian dan perubahan arca Agastya dari kayu cendana menjadi batu hitam juga dicatat dalam prasasti, menunjukkan kekayaan upacara dan kebudayaan pada masa itu.
Pengaruh Kerajaan Kanjuruhan
Sejarah Kanjuruhan tidak hanya mencakup masa kejayaan, tetapi juga mencatat perubahan signifikan dalam politik dan geografi wilayah tersebut. Pemindahan ibu kota Kanjuruhan oleh Gajayana dari barat Gunung Kelud ke timur Gunung Kawi merupakan strategi penting dalam menjaga keamanan dan stabilitas kerajaan di tengah perubahan geopolitik pada masa itu.
Keruntuhan Kerajaan Kanjuruhan, meskipun tidak disebabkan oleh invasi langsung, tetapi lebih karena pergeseran kekuatan politik dan pendirian kerajaan baru di wilayah tersebut, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Balitung dari Mataram Kuno. Meskipun demikian, nama Kanjuruhan tetap hadir dalam sejarah Jawa Timur, tercatat dalam berbagai prasasti dan naskah-naskah sejarah.
Baca juga : Jejak Kehidupan Sumitro Djojohadikusumo
Kesimpulannya, jejak Kerajaan Kanjuruhan yang tercatat dalam prasasti Dinoyo dan artefak-artefak sejarahnya, seperti Candi Badut, tidak hanya menjadi bukti keberadaan sebuah kerajaan pada masa lalu, tetapi juga mengungkapkan kekayaan budaya dan peradaban yang pernah berkembang di wilayah Malang, Jawa Timur. Studi lebih lanjut tentang prasasti dan peninggalan sejarah ini terus memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang perjalanan sejarah bangsa Indonesia.