DosenKampus

Fenomena Meningkatnya Gelar Doktor di Kalangan Tokoh Publik

Advertisements

Dalam beberapa waktu terakhir, kita disuguhkan dengan berita mengenai sejumlah tokoh publik—mulai dari pejabat hingga artis—yang berhasil meraih gelar doktor atau doktor honoris causa (HC). Fenomena ini menarik perhatian banyak pihak, terutama para pakar pendidikan dan sosiologi. Menurut Radius Setiyawan, seorang dosen di Cultural Studies Universitas Muhammadiyah Surabaya, ada dinamika menarik yang mendasari tren ini.

 Penguatan Pengaruh Melalui Gelar Akademik

Radius menjelaskan bahwa fenomena ini merupakan strategi bagi para publik figur untuk memperkuat pengaruh mereka dalam masyarakat, terutama dalam konteks struktur sosial. “Dalam konteks pendidikan, usaha yang dilakukan oleh beberapa publik figur adalah upaya untuk memperkuat kapital budaya,” tuturnya. Dengan memiliki gelar akademik yang tinggi, mereka tidak hanya mendapatkan pengakuan, tetapi juga memperluas akses dan jejaring sosial yang penting dalam masyarakat.

 Teori Bourdieu dan Kapital dalam Pendidikan

Untuk memahami lebih dalam tentang fenomena ini, Radius mengacu pada teori sosiolog terkenal, Pierre Bourdieu. Bourdieu mengemukakan bahwa berbagai bentuk kapital—ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik—berperan dalam memperkuat posisi seseorang di dalam masyarakat.

– Kapital Ekonomi: Mengacu pada sumber daya fisik dan kekayaan yang dimiliki.

– Kapital Budaya: Terkait dengan pendidikan dan posisi dalam struktur sosial.

– Kapital Sosial: Menyangkut akses ke jejaring dan hubungan sosial.

– Kapital Simbolik: Berupa pengakuan sosial yang menciptakan kekuasaan simbolik.

Tokoh-tokoh publik ini sering kali memiliki akses yang lebih mudah ke bentuk-bentuk kapital ini, yang memungkinkan mereka untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi dengan lebih efektif.

 Pendidikan sebagai Ruang Strategis

Pendidikan dianggap sebagai arena penting dalam struktur sosial, dan dalam konteks ini, Radius menyatakan bahwa tindakan para publik figur untuk mendapatkan gelar akademik adalah hal yang wajar. Semua orang, termasuk mereka, berhak mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Namun, yang menjadi perhatian publik adalah proses yang tampak lebih mudah bagi mereka dibandingkan dengan masyarakat umum.

Radius menjelaskan bahwa kemudahan ini bisa dipandang sebagai “deotonomisasi” dalam pendidikan, di mana individu dengan kekuatan ekonomi dan sosial lebih mudah mengakses pendidikan yang berkualitas. “Bisa jadi sedang terjadi konversi atau pertukaran modal ekonomi untuk mendapatkan modal budaya. Hal ini akan semakin mengukuhkan dominasi aktor dalam arena sosial,” ungkapnya.

 Dampak pada Ekosistem Pendidikan

Fenomena ini bisa membawa dampak serius terhadap ekosistem pendidikan. Radius mengingatkan bahwa ketika pendidikan menjadi alat untuk memperkuat dominasi sosial, hal ini bisa mengancam keadilan dan kesetaraan dalam akses pendidikan. Jika hanya segelintir orang yang mampu memanfaatkan modal ekonomi mereka untuk mengakumulasi modal budaya, maka bisa terjadi ketimpangan yang semakin besar dalam masyarakat.

Baca juga : Studi Menunjukkan Kuliah Baik untuk Kesehatan Mental

Meningkatnya jumlah tokoh publik yang meraih gelar akademik tinggi menandakan adanya dinamika sosial yang kompleks. Sementara akses pendidikan adalah hak bagi semua, penting untuk memastikan bahwa proses pencapaian gelar tidak mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara kapital ekonomi, sosial, dan budaya dalam konteks pendidikan dapat membantu kita mengatasi tantangan yang ada dan memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi alat untuk pemberdayaan masyarakat secara merata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *