Tentang Dosen Luar Negeri dan Panggilan Professor
Oleh: Lien Iffah Naf’atu Fina
Urusan “prof.” ini memang agak unik. Pasalnya, dan rupanya, setiap wilayah punya tradisi yang beda-beda terkait penggunaan istilah ini.
Ketika wawasan konteksku masih Indonesia, prof. kumaknai sebagai guru besar, sebagaimana lazimnya ia dipahami di negeri ini.
Ada cerita, pas nulis paper/tesis aku pernah dibuat bingung. Sebuah sumber mengatakan bahwa Angelika Neuwirth menjadi professor di kampus A, B, C, D dst. “Sebentar, sebentar, keren banget ini orang dikukuhkan sebagai guru besar di mana-mana. Tapi bagaimana bisa ya? Apa itu semacam guru besar honoris causa atau kehormatan?” begitu kira-kita pertanyaan di benakku.
Meski sekarang tertawa lucu kalau ingat, setelah dipikir-pikir, pertanyaan semacam itu wajar. Tentu aku membaca biografi beliau dalam kerangka pengalamanku di Indonesia, bahwa gelar profesor biasanya diberikan oleh satu kampus. Itupun dapetnya susah banget. Lha, orang ini, malah berkali-kali! Kan hamba puyeng kok bisa gitu.
Belakangan aku tahu, bahwa ternyata, ya itu tadi…setiap wilayah punya tradisi yang beda-beda.
Di konteks AS, prof. adalah sebutan untuk dosen. Kalau di Indonesia ada jenjang karir asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor/guru besar; di AS ada jenjang assistant professor, associate professor, dan professor. Di semua jenjang karirnya, dalam konteks formal, dosen di sini akan dipanggil professor+last name-nya. Ya sama lah dengan memanggil “Pak X” atau “Bu X” ketika kita manggil dosen kita di Indonesia. Ketika aku bilang bahwa aku mengajar di kampus di Indonesia, kawanku bilang, “Oh, you are a professor…” Maksud dia, aku adalah seorang dosen (Meski agak dag dig dug juga, kan aku belum profesor hihi–dalam maknanya di konteks Indonesia).
Penggunaan prof. di konteks Belanda berbeda lagi. Tahun 2017 ketika aku ke Leiden Univ, Pak Nico Kaptein cerita bagaimana dia belum menjadi prof. karena bidang Islam and Southeast Asia dipegang oleh prof. lain di kampus tersebut. Di kampus, hanya ada satu prof. di bidang yang sama (cmiiw). Alhasil, Pak Nico menjadi prof. baru belakangan, setelah prof. yang bersangkutan pensiun. Bahkan, dalam status beliau kala itu (kalau tidak salah ingat), beliau bercerita bagaimana beliau didahului muridnya, seperti Pak Noorhaidi, dalam hal pengangkatan menjadi profesor ini.
Adat penggunaan istilah prof. di Belanda beda lagi, baik dengan konteks AS maupun Indonesia, meski ada mirip-miripnya dikit dengan di Indonesia.
Pernah kutanya Mbak Isma, “Mbak, trus sebelum Pak Nico jadi professor, beliau dipanggil apa dong? Atau dosen di sana kalau belum prof. dipangil apa biasanya?” Jawaban Mbak Isma, “Ya, pakai Dr. X gitu. Tapi kalau sama Pak Nico, mahasiswa Indonesia biasa manggil “Pak Nico” gitu aja sih.” “Ooooh, gitu,” jawabku.
Perbedaan penggunaan kata prof. ini memang sering menimbulkan kerancuan. Itu sering dilihat dalam pamflet seminar atau konferensi. Dosen luar negeri akan ditulis Prof. X (terlepas apakah beliau statusnya assistant, associate, atau full professor), sedangkan dosen di Indonesia, yang belum prof., akan ditulis gelar master atau doktoralnya. Penulisan semacam ini menjadi kurang berimbang. Ada konteks yang tumpang tindih. Alhasil, secara tidak langsung, publik Indonesia yang mungkin belum familiar dengan tradisi penggunaan prof. di AS, misalnya, akan memaknai prof. itu dalam konteks penggunaannya di Indonesia.
Selain tidak berimbang, juga bikin sedih kadang. Aku pernah melihat pamflet di mana seorang dosen senior di Indonesia, kebetulan guruku dan belum prof., bersanding dengan seorang dosen muda dari luar negeri. Guruku tersebut ditulis gelar doktornya saja. Sedangkan dosen luar negeri itu ditulis “Prof.” di depan namanya. Rasanya tak terima, haha, meski guruku itu kujamin santai saja.
Sampai kadang mikir, selain urusan kebelumpahaman, apa memang ini mencerminkan apa yang ada di bawah sadar kita ya. Kalau sudah melihat yang serba dari luar itu bawaannya langsung anu. Mirip dengan sebagian toko online yang lebih bangga ketika bilang barang jualannya adalah “produk impor.”
Sebagaimana kulihat belakangan, ada yang mencoba menyiasati dengan menulis lengkap. Misal, Assoc. Prof. X. Mungkin, ini untuk mengatasi perbedaan budaya urusan prof. ini. Si pembuat pamflet ingin adil dalam menyematkan gelar. Tetapi, kalau ditulis begitu, kenapa yang dosen Indonesia tidak ditulis Lektor Kepala atau Lek Kep X, misalnya? Hehe.
Kalau aku pribadi, urusan penulisan nama di pamflet ini, dari dulu lebih suka ditulis nama telanjang. Di bawahnya boleh ditulis dosen di mana gitu. Iya, memang nggak ada yang nanya preferensiku apa. Ngaku dulu sebelum dilempari sandal, apalagi sama penjaga alis yang nggak berani ku-tag namanya.