Perjuangan Mahasiswa Gaza dalam Mengejar Pendidikan
Setiap bulan September menandai awal tahun ajaran baru bagi universitas-universitas di Jalur Gaza. Namun, tahun ini, puluhan ribu mahasiswa tidak dapat melanjutkan studi mereka akibat konflik yang berkepanjangan dan genosida yang dilakukan Israel di wilayah tersebut. Meski dalam situasi yang sangat sulit, berbagai inisiatif muncul untuk membantu mahasiswa agar tetap bisa mengejar impian akademis mereka.
Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2024, sistem pendidikan di Gaza mengalami kerusakan yang parah. Hampir 93% bangunan sekolah rusak atau hancur, banyak di antaranya telah dialihfungsikan menjadi tempat penampungan bagi 1,9 juta orang yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka.
Sampai pertengahan September tahun ini, lebih dari 10.000 anak usia sekolah dan lebih dari 400 tenaga pendidik telah kehilangan nyawa akibat operasi militer Israel. Keadaan di universitas juga tak kalah memprihatinkan, di mana semua 12 universitas di Gaza mengalami kerusakan parah atau bahkan hancur total. Menurut Kementerian Pendidikan Palestina, lebih dari 650 mahasiswa dan 110 staf pengajar telah tewas dalam konflik ini.
Inisiatif Pembelajaran Daring di Tengah Krisis
Saida Affouneh, dekan Fakultas Pendidikan di Universitas An-Najah di Tepi Barat, berperan penting dalam meluncurkan Prakarsa Dukungan Pendidikan Teknis (TESI). Inisiatif ini bertujuan untuk menyediakan akses kepada mahasiswa Gaza untuk mengikuti kursus daring berbayar agar mereka dapat melanjutkan pendidikan mereka meski di tengah konflik yang berkepanjangan.
TESI bekerja sama dengan universitas-universitas di Gaza untuk menghadirkan pengajar dari berbagai belahan dunia. Lebih dari 3.500 profesor dan mahasiswa pascasarjana telah mendaftar untuk mengajar dalam berbagai bidang, mulai dari ilmu komputer, kedokteran hewan, hingga penerjemahan sastra dan hukum perdata internasional.
Affouneh yang memiliki gelar doktor dalam pendidikan darurat dan berfokus pada pembelajaran daring, mencatat bahwa hampir 50.000 mahasiswa telah menunjukkan minat untuk bergabung dengan inisiatif ini. Namun, meskipun mendapat respons yang sangat positif, program tersebut hanya mampu menampung 3.000 mahasiswa pada fase pertamanya. Dari jumlah tersebut, hanya sedikit lebih dari separuhnya yang berhasil menyelesaikan semester musim semi, sementara banyak yang terpaksa menghentikan studi mereka akibat pengungsian berulang dan akses internet yang terbatas.
Fokus pada Mahasiswa Kedokteran
Mencari cara untuk membantu mahasiswa kedokteran melanjutkan pendidikan mereka menjadi prioritas utama saat ini. Seperti universitas lain, pengajaran di dua perguruan tinggi kedokteran di Gaza, Universitas Al-Azhar dan Universitas Islam Gaza, dihentikan setelah 7 Oktober, karena kedua institusi tersebut hancur dalam serangan awal perang.
Namun, mahasiswa kedokteran menyadari bahwa keterampilan mereka sangat dibutuhkan. Mereka secara aktif berkontribusi untuk membantu sistem medis Gaza yang tengah berjuang menghadapi lonjakan jumlah pasien.
Salah satu mahasiswa, Tareq Abdel Jawwad, 23 tahun, adalah mahasiswa kedokteran tahun kelima di Al-Azhar. Dengan kuliah dan rotasi klinisnya yang dibatalkan, Jawwad mulai menjadi relawan di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa. Dia menghabiskan waktu tiga hingga empat hari di rumah sakit sebelum menempuh perjalanan berbahaya pulang untuk beristirahat.
“Rumah sakit itu penuh dengan pasien, bahkan saya tidak punya tempat untuk tidur,” keluhnya. Saat ini, Jawwad, yang berada di luar Gaza, telah bekerja lebih dari 800 jam dalam waktu 90 hari sebagai relawan. Pengalaman yang dia saksikan, seperti luka-luka akibat perang dan korban jiwa, sangat mengerikan dan bisa menimbulkan trauma. “Tidak semua mahasiswa siap menghadapi kenyataan ini,” tambahnya.
Jawwad kini memimpin inisiatif bernama Gaza Educate Medics, yang bertujuan membantu mahasiswa kedokteran Gaza melanjutkan pendidikan mereka. Dengan dukungan dari para dekan fakultas kedokteran di Al-Azhar dan Universitas Islam, program ini diluncurkan pada bulan Juni untuk menyediakan pengajaran medis daring dan penempatan klinis di rumah sakit baik di Gaza maupun di luar Palestina.
Tantangan Dosen di Tengah Krisis
Majd al-Kurd, seorang dosen Bahasa Inggris di Universitas Islam, harus berjuang untuk mengisi daya ponselnya di rumah tetangga dan membayar sekitar $1 atau Rp 17 ribu per jam untuk mengakses hotspot seluler. Praktik ini menjadi umum di Gaza utara, di mana orang-orang dengan akses internet menyediakan layanan tersebut dengan tarif tinggi.
Namun, al-Kurd tetap membayar demi dapat terus berbagi kuliah dan berkomunikasi dengan mahasiswanya melalui platform pendidikan seperti Moodle dan Facebook. Mengajar tetap menjadi komitmen yang dijalaninya dengan bangga. “Generasi yang buta huruf adalah hal terakhir yang ingin kami lihat di sini, di Gaza,” tegasnya.
“Universitas tempat saya bekerja hancur total, dan bahkan pusat pengajaran kecil tempat saya bekerja juga dibakar,” tambahnya dengan nada penuh kepedihan.
Perjuangan mahasiswa dan dosen di Gaza menggambarkan semangat yang tak tergoyahkan dalam mengejar pendidikan, meskipun menghadapi tantangan yang sangat berat akibat konflik yang berkepanjangan.

