Resensi

Nabi Muhammad SAW di Mata Karen Armstrong

Advertisements

Oleh Dr. Zaprulkhan, Dosen UIN Bangka Belitung

Pada tahun 1991, Karen Armstrong, penulis prolifik tentang agama-agama dunia itu, menulis buku mengenai Nabi Muhammad Saw yang berjudul Muhammad: A Biography of the Prophet, Muhammad: Sebuah Biografi Sang Nabi. Dalam buku ini, Karen menulis dengan tujuan untuk orang Barat agar mereka lebih mengenal Nabi Muhammad Saw dan Islam dengan baik. Karen ingin membuka perspektif orang Barat yang bernada negatif atau pejoratif berubah menjadi positif.

Dengan alasan inilah, dalam buku pertamanya Karen membela Nabi Muhammad Saw dan agama Islam dari berbagai pandangan negatif orang Barat. Saat itu, baru saja terbit novel Salman Rushdie, The Satanic Verses, Ayat-ayat setan pada tahun 1998 yang mengyuguhkan perspektif pejoratif kepada Sang Nabi, sekaligus Al-Qur’an, yang intinya pada satu waktu setan pernah ikut campur saat Rasulullah Saw menerima wahyu. Dikatakan bahwa Rasulullah Saw mendapat inspirasi dari setan untuk membacakan dua ayat yang memuja al-Lata, al-Uzza, dan Manat sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.

Umat Islam langsung memprotes, bahwa novel itu menampilkan parodi kehidupan Nabi Mulhammad Saw: ceritanya mengulangi semua mitos Barat tentang Sang Nabi dan menggambarkannya sebagai penipu, hanya berambisi politik, seorang bernafsu yang menggunakan wahyu-wahyunya sebagai lisensi untuk mendapatkan sebanyak mungkin perempuan yang dia inginkan.

Cerita itu juga menunjukkan bahwa sahabat-sahabatnya yang pertama adalah manusia-manusia tak berguna. Yang paling menyakitkan, bagi ummat Muslim, buku itu mencemarkan integritas al-Our’an. Mereka merasa bahwa insiden Ayat-ayat Setan, yang menjadi judul novel itu, digunakan untuk menunjukkan bahwa buku suci umat Muslim itu tak dapat membedakan kebaikan dari kejahatan dan bahwa, scbagaimana senantiasa dipelihara oleh para kritikus Barat, inspirasi manusiawi maupun inspirasi jahat merupakan kehendak Tuhan.

Karen menjelaskan bahwa cerita tentang ayat-ayat setan bertentangan dengan hadis lain dan dengan Al-Qur’an sendiri. Pada tahap awal kenabiannya, Muhammad Saw tidak berminat pada kekuasaan politik. Jadi kisah ini, seperti diceritakan Abu al-Aliyah, tidak sesuai. Al-Qur’an, seperti kita lihat, membantah bahwa Muhammad Saw telah memiliki fungsi politik di Mekkah pada tahapan ini, dan kelak Nabi akan menolak perjanjian-perjanjian sejenis dengan tokoh-tokoh Quraisy tanpa berpikir dua kali.

Dasar spiritualitas Nabi Muhammad

Menurut Karen, prinsip tauhid, keesaan Ilahi menjadi dasar spiritualitas Nabi Muhammad Saw, dan menjadi upaya untuk merealisasikan keesaan ini dalam hidup seseorang dan dalam masyarakat. Untuk mencapai penyatuan personal harus dilakukan upaya terus menerus, yang memberikan keakraban atas satu Tuhan dalam pengalaman menemukan satu pusat tunggal dan tujuan dalam diri yang benar-benar menyatu.

Bagian pertama syahadat, pernyataan keimanan Muslim, menyimpulkan maksud perseorangan setiap Muslim: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” Jelas ini mencegah Muslim untuk memuliakan dewa-dewa dalam bentuk seterbatas apa pun lainnya seperti al-Lata, al-Uzza dan Manat.

Bahkan Al-Qur’an menjelaskan bahwa tak ada seorang makhluk hidup pun yang dapat mengubah kata-kata Ilahi dan bahwa jika Nabi Muhammad Saw memiliki inisiatif tersebut, konsekuensinya akan fatal.

Mengapa umat Islam melampiaskan marah kepada Salman Rushdie setelah terbitnya novelnya ayat-ayat setan? Kata Karen: peristiwa Salman Rushdie menunjukkan bahwa yang dipandang sebagai serangan terhadap Nabi itu telah melanggar sebuah wilayah suci jiwa kaum Muslim di seluruh dunia. Merendahkan Nabi Muhammad Saw atau agamanya senantiasa merupakan serangan besar dalam wilayah Islam. Namun terutama pada masa kini, hal itu sangat melukai kaum Muslim karena penghinaan umat Islam oleh dunia Barat.

Islam dan Poligami

Selanjutnya Karen juga membela agama Islam dari kritikan Barat yang menganggap Islam bersifat misoginis terhadap kaum wanita. Kata Karen: “Tak adil untuk menyalahkan Nabi Muhammad Saw dan Islam dalam persoalan misogini. Jika perempuan Muslim sekarang menolak kebebasan yang kita tawarkan kepada mereka, ini bukannya tidak wajar, melainkan karena pandangan Barat tentang perempuan dan hubungan antar gender membingungkan. Kita mengkhotbahkan kesetaraan dan kebebasan, namun pada saat yang sama mengeksploitasi dan merendahkan perempuan di iklan-iklan, pornografi dan hiburan populer lainnya yang bagi kaum Muslim sangat aneh dan menyerang perempuan.”

Karen juga merespons persoalan poligami. Menurutnya, para kritikus Nabi Muhammad Saw di Barat cenderung memandang pembolehan poligami ini sebagai murni sovinisme laki-laki. Film-film populer seperti Harem memberi gambaran absurd dan dibesar-besarkan tentang kehidupan seks syekh Muslim yang membuka lebih banyak fantasi Barat daripada realitas sebenarnya. Namun, terlihat dalam konteks, poligami tidak dirancang untuk memperbaiki kehidupan seks kaum lelaki—itu merupakan sebuah legislasi sosial.

Masalah anak yatim telah membebani Nabi Muhammad Saw sejak awal karirnya dan hal itu diperburuk dengan kematian kaum lelaki dalam perang Uhud. Orang-orang yang meninggal dunia itu tak hanya meninggalkan istri-istri, tetapi juga anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan dan kerabat-kerabat lain yang memerlukan pelindung baru.

Para pelindung baru mereka mungkin tak cermat tentang pengurusan harta benda anak-anak yatim itu. Sebagian bahkan mungkin membiarkan perempuan-perenmpuan itu tidak menikah agar mereka tetap dapat menguasai harta bendanya. Bukan hal yang asing bagi seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang berada di bawah perwaliannya untuk menguasai harta bendanya.

Menurut Karen, saat itu mungkin juga terjadi kekurangan laki-laki di Arabia, dan kelebihan perempuan yang belum menikah, yang seringkali dieksploitasi dengan buruk. AI-Qur’an amat memperhatikan terhadap persoalan ini dan mengambil jalan poligami sebagai cara penyelesaiannya.

Cara ini akan memungkinkan semua perempuan yatim itu untuk menikah, dan menekankan bahwa seorang laki-laki hanya dapat beristri lebih dari satu jika dia berjanji untuk mengurus harta mereka dengan adil. Juga ditetapkan bahwa tak diperbolehkan perempuan-perempuan yatim itu dinikahi oleh walinya di luar kehendaknya sendiri, layaknya dia hanya semacam harta yang dapat dipindahkan.

Islam dan Perempuan

Kritikus Barat juga kerap menyalahkan al-Qur’ an dalam perlakuan terhadap perempuan, yang mereka pandang sebagai tidak adil; namun kenyataannya bagi Karen, emansipasi perempuan merupakan hal yang senantiasa hidup di hati Sang Nabi. Banyak keluhan bahwa al-Qur’an mengkhotbahkan standar ganda. Hukum pewarisan, misalnya, menyatakan bahwa perempuan dapat mewarisi hanya separuh dari yang diterima saudara/kerabat laki-lakinya (yang harus menyediakan mahar untuk memulai berkeluarga). Begitu juga, perempuan diizinkan menjadi saksi hukum, namun kesaksiannya hanya bernilai separuh dari kesaksian laki-laki.

Kata Karen, pada konteks abad ke-20—ketika kita mengampanyekan persamaan hak bagi kaum peremuan—legislasi al-Qur’an ini seakan tampak menjadi penghalang. But in seventh-century Arabia, it was revolutionary. Namun pada abad ke-7 di Arab, hal itu merupakan suatu terobosan yang revolusioner. Kita mesti ingat bagaimana kehidupan pada waktu itu bagi perempuan-perempuan periode pra-Islam, ketika pembunuhan bayi-bavi perempuan merupakan norma yang berlaku dan perempuan sama sekali tak memiliki hak apa pun.

Seperti budak, perempuan diperlakukan sebagai spesies rendah, yang tak memiliki eksistensi legal. Dalan dunia yang begitu primitif, yang dicapai Nabi Muhammad untuk kaum perempuan amat luar biasa. Gagasan bahwa perempuan dapat menjadi saksi atau dapat mewarisi sesuatu dalam haknya, benar-benar mengagumkan. Kita juga mesti ingat bahwa dalam Erópa Kristen, perempuan harus menunggu hingga abad ke-19 sebelum mendapatkan hal yang sama. Meskipun demikian, hukum masih berat scbelah kepada kaum laki-laki.

Sekali lagi, kita harus melihat peraturan poligami ini dalam konteksnya. Dengan tegas Karen menyatakan: In seventh-century Arabia, when a man could have as many wives as he chose, to prescribe only four was a limition, not a licence to new oppression. Di Arabia abad ke-7, ketika laki-laki dapat memiliki istri sebanyak yang dia sukai, pengaturan mengenai empat istri ini merupakan sebuah pembatasan, bukan lisensi sebuah opresi baru.

Lebih lanjut, al-Qur’an langsung menindaklanjuti ayat yang memberi hak ummat Muslim beristri empat dengan kualifikasi yang harus dipertimbangkan dengan serius. Bila laki-laki tak yakin dapat bertindak adil kepada keempat istrinya, dia harus tetap monogami. Hukum Muslim menegaskan ini: seorang laki-laki harus meluangkan waktu yang sama untuk masing-masing istrinya, selain memperlakukan istri-istrinya secara finansial dan legal sama.

Laki-laki tak boleh memiliki sedikit pun rasa pilih kasih kepada salah satu, tetapi harus menyayangi mereka sama besarnya. Disepakati dalam dunia Islam bahwa tak ada manusia biasa yang dapat memenuhi persyaratan al-Qur’an ini: tidak mungkin menunjukkan ketakberpihakan semacam itu. Sebagai akibatnya, kualifikasi al-Quran dan Nabi Muhammad Saw ini berarti bahwa ummat Muslim tidak seharusnya memiliki empat istri.

Begitu pula banyaknya istri Nabi Muhammad Saw juga menimbulkan spekulasi yang cabul dan menyeramkan di Barat, yang juga mengandung kecemburuan yang sulit disembunyikan. Kelak al-Qur’an menyatakan bahwa seorang Muslim dapat memiliki empat istri, tetapi Nabi Muhammad Saw, sebagai Nabi, diizinkan memiliki lebih dari empat. Sedikit orang di Arab pada masa itu memandang monogami sebagai norma yang dinginkan, dan di tahun-tahun kemudian, ketika Nabi Muhammad Saw menjadi pemimpin Arab yang agung, keluarganya yang besar menjadi tanda statusnya. Dalam masyarakat suku kala itu, poligami cenderung dianggap normal.

Pernikahan Nabi

Namun bagi Karen, salah bila membayangkan Nabi Muhammad Saw bersenang-senang dalam kemerosotan di taman kesenangan duniawi. Sesungguhnya, semua istrinya itu kadang-kadang, seperti kita lihat, merupakan anugerah. Secara sederhana dapat kita perhatikan dua hal ini. Pertama, baik Saudah maupun Aisyah dipilih bukan karena daya tarik seksual mereka.

Aisyah hanya seorang gadis kecil, dan Saudah pada usia 30 telah melewati kemudaannya dan mulai gemuk. Kita mendengar banyak cerita mengenai dirinya dan ini menunjukkan bahwa perkawinan itu lebih merupakan perencanaan praktis daripada perjodohan Cinta. Dia dapat memelihara rumah tangga Nabi Muhammad Saw dan sekaligus memperoleh status, setidaknya di kalangan komunitas Muslim, dengan menjadi istri Sang Nabi.

Kedua, kedua pernikahan itu memiliki dimensi politis. Muhammad tengah membangun hubungan-hubungan penting persaudaraan. Dia masih memiliki harapan bahwa Suhail, yang merupakan orang yang sangat religius, yang dengan perkawinannya dengan Saudah menjadikan mereka bersaudara. Penting juga untuk membangun ikatan yang lebih dekat dengan Abu Bakar. Muhammad tengah memulai pembentukan sebuah alternatif keluarga/klan, yang tidak berdasarkan pada persaudaraan melainkan pada ideologi yang berpijak pada agama. Meskipun demikian, ikatan darah masih dirasa penting.

Begitu juga pernikahan Rasulullah Saw dengan Zainab binti Khuzaimah, janda Ubaidah bin Harits pahlawan syahid dalam perang Badar. Pernikahan itu sebagai penghormatan dan penghargaan atas jasa suaminya. Zainab juga anak perempuan kepala suku Badui dari keluarga Amir. Sehingga pernikahan itu menimbulkan persekutuan politis.

Islam dan Kekerasan

Begitu pula, ketika Islam dinilai oleh Barat sebagai agama kekerasan, agama pedang, agama perang, maka lagi-lagi Karen membela Islam dari streotipe tersebut. Sebagian orang Barat mengkritik keras peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sabahatnya kepada suku Quraizhah. Menurut Karen, suku Quraizhah sudah mengkhianati perjanjian yang telah disepakatinya dengan Nabi Muhammad Saw. Mereka telah melanggar janji perdamaian dengan Nabi Muhammad Saw. Mereka juga memprovokasi musuh-musuh umat Islam saat itu agar bersatu memerangi Nabi Muhammad Saw dan seluruh sahabat-sahabatnya.

Karena itulah, kaum Quraizhah dihukum mati. Sebab jika Nabi Muhammad Saw mengizinkan mereka pergi, suatu ketika mereka akan membesarkan posisi Yahudi di Khaibar dan mengorganisir serangan baru ke Madinah. Lain kali, Muslim mungkin tidak beruntung dan perjuangan berdarah untuk bertahan akan terus terjadi, dengan lebih banyak kematian dan penderitaan. Hukuman mati itu mengesankan para musuh nabi Muhammad Saw. Tak seorang pun terkejut oleh eksekusi itu, dan kaum Quraizhah sendiri telah menerimanya.

Hukuman mati itu mengirim pesan suram bagi kaum Yahudi di Khaibar. Para suku Arab mencatat bahwa Nabi Muhammad Saw tak takut akan pembalasan dendam dari kawan atau sekutu Quraizhah atas kematian dalam pertumpahan darah itu. Itu merupakan simbol kekuatan luar biasa Nabi Muhammad Saw yang dicapainya setelah pengepungan. Beliau telah menjadi pemimpin kelompok paling berpengaruh di Arab.

Namun menurut Karen, penting juga dicatat bahwa kekerasan terhadap kaum Yahudi suku Quraizhah saat itu jangan digeneralisir. Sikap keras umat Islam saat itu tidak secara permanen mewarnai sikap Muslim terhadap Yahudi. Ketika kaum Muslim telah membangun kerajaan mereka sendiri dan perlahan-lahan membangun Hukum Suci yang berisikan etika yang lebih canggih dan lebih manusiawi, mereka akan membangun suatu sistem toleransi yang telah lama berlaku di bagian-bagian beradab di Timur Tengah. Di bagian Oikumene, berbagai kelompok agama telah hidup berdampingan.

Menurut Karen, sikap anti-Semit merupakan perbuatan Kristenitas Barat, bukan Islam. Kita harus ingat itu jika kita tergoda untuk melakukan generalisasi tentang insiden mengerikan di Madinah ini. Bahkan pada masa Nabi Muhammad Saw sendiri, beberapa kelompok Yahudi kecil tetap tinggal di Madinah setelah tahun 627 dan diizinkan hidup dengan damai tanpa balas dendam lebih jauh. Tampak bahwa bagian kedua dari Perjanjian Madinah, yang berbubungan dengan populasi Yahudi di pemukiman disusun setelah masa ini.

Di kerajaan Islam, ummat Yahudi dan Kristen mendapatkan kebebasan beragama. Kaum Yahudi tinggal di sana dalam damai sampai terbentuknya Negara Israel pada abad kita sckarang, Kaum Yahudi di kerajaan Islam tidak mengalami penderitaan seperti kaum Yahudi di kerajaan Kristen. Mitos anti-Semit di Eropa diperkenalkan ke Timur Tengah pada akhir abad yang lalu oleh para misionaris Kristen.

Jadi menurut Karen, dalam situasi-situasi genting, kekuatan memang diperlukan. Sebab jika para tiran dan rezim yang menyebalkan tidak dilawan secara militer, kejahatan akan menguasai dunia. Bagi Karen, sebagian besar umat Kristen akan sependapat dengan konsep perang yang adil ini, menyadari bahwa untuk melawan Hitler atau Ceausescu, berperang merupakan satu-satunya cara yang tepat. Islam bukan semacam agama damai yang menyerahkan pipi satunya untuk dipukul, melainkan agama yang memerangı tirani dan kesewenang-wenangan. Seorang Muslim merasa memiliki kewajiban suci untuk meminpin kaum lemah dan tertindas. Saat ini, ketika Muslim menyerukan jihad terhadap musuh, mereka semata-mata melaksanakan teladan Al-Qut’an.

Dalam perspektif Karen, Al-Qur’an mengajarkan bahwa perang selalu buruk sekali. Kaum Muslim dilarang memulai kekerasan, karena satu-satunya perang yang dibolehkan adalah berperang karena membela dirí. Namun sekali mereka berada dalam perang, kaum Muslim harus bertempur dengan komitmen mutlak agar perang berakhir sesegera mungkin. Jika musuh telah mengajukan gencatan senjata atau menunjukkan arah ke perdamaian, kaum Muslim diperintahkan oleh al-Our’an untuk mengakhiri kekerasann segera, sejauh syarat-syarat perdamaiannya tidak melanggar moral dan kehormatan.

Namun al-Qur’an juga berempati dengan menganggap tugas sakral untuk membawa konflik bersenjata ke penyelesaian secepatnya dan menghadapi musuh dengan gagah. Segala tindakan ragu-ragu yang dapat membuat konfliknya berlarut-larut tanpa kekerasannya segera, sejauh batas waktu jelas harus dihindari. Tujuan setiap perang haruslah untuk mengembalikan perdamaian dan harmoni secepat mungkin.

Muhammad: A Biography of the Prophet

Setelah terbit pertama kali, buku Muhammad ini langsung mendapat sambutan luas dari masyarakat internasional. Buku tersebut segera menjadi bestseller internasional. Karen diundang dalam berbagai forum untuk mendiskusikan isi buku tersebut. Dalam satu kesempatan, Karen berjumpa dengan antropolog muslim ternama, Akbar S. Ahmed. Akbar Ahmed tentu saja sudah membaca buku Karen tentang Nabi Muhammad Saw. Dalam pertemuan itu, Akbar Ahmed berkata kepada Karen: “Your book is love story; Bukumu adalah sebuah kisah cinta.”

Lalu dengan setengah bercanda Akbar Ahmed menggoda Karen: “if you had met the Prophet, you would have consented to be his fifteenth wife!; Kalau saja engkau bertemu dengan Nabi Muhammad Saw, tentu engkau akan setuju untuk menjadi istrinya yang kelima belas!”
Bagaimana respons Karen?

“Saya tidak yakin tentang itu,” kata Karen, “tapi saya memang mendapatkan pathos yang sejati dalam kisahnya. Muhammad hidup di zaman yang gelap dan penuh kekerasan, tidak berbeda dengan zaman kita sendiri. Karena kita tahu lebih banyak tentang dia daripada tentang pendiri sebagian besar tradisi utama lainnya, dia tampil sebagai sosok yang lebih manusia ketimbang Yesus maupun Buddha. Kita melihat dia tertawa menggendong cucu di bahunya, dan meratapi kematian sahabat-sahabatnya. Di atas semua itu, kita melihat dia berjuang, kadang-kadang secara harfiah berpeluh-peluh lantaran upayanya untuk membawa umatnya keluar dari situasi yang benar-benar tanpa harapan.”

Karen dengan terus terang mengakui bahwa ketika sedang menulis buku tentang Nabi Muhammad Saw, ia sebenarnya tengah mempelajari latihan ekstase. Simak pengakuannya yang simpatik terhadap kehidupan Nabi Muhammad Saw:

“Ketika menulis Muhammad, saya harus melakukan upaya imajinatif yang konstan untuk masuk secara empatik ke dalam pengalaman orang lain. Ini merupakan sejenis ekstase. Selama enam bulan, saya bersitekun sepanjang hari untuk mencoba memahami usaha seorang manusia mencarí berkah. Meskipun saya bukan seorang yang beragama, saya mesti berpikir dalam kerangka religius, dan masuk ke dalam pikiran seorang manusia yang percaya bahwa dia akan disentuh secara langsung oleh Tuhan. Hanya kalau saya mau membuat lompatan simpati, barulah saya bisa memahami esensi Muhammad. Menuliskan tentang kehidupannya dengan sendirinya merupakan tindakan Islam, “penundukan” diri saya yang sekuler dan skeptis yang membawa saya ke dalam wilayah yang disebut Ilahí, meskipun hanya lewat tangan kedua.”

Karen juga mengakui terus terang bahwa ia menulis buku tentang Nabi Muhammad Saw itu dalam rangka membantah tuduhan para pendukung Salman Rushdie dan meluruskan kesalahpahaman orang Barat terhadap Sang Nabi dan Islam. Tentu saja, ada juga pandangan Karen yang bias terhadap Nabi Muhammad Saw. Itu karena ia mengutip dari buku-buku tarikh dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, bukan karya bahasa Arabnya langsung. Namun secara umum, Karen sangat simpatik dan selalu membela Nabi Muhammmad Saw dan Islam dari serangan Barat. Karen juga selalu mengajak Barat untuk memahami Islam dan mengajak umat Islam untuk memahami Barat, agar kedua pihak tidak salah persepsi satu sama lain.

Akhirnya, saya ingin menutup tulisan ini dengan ajakan dari Karen kepada kita semua, baik sebagai muslim maupun orang Barat:
Jika umat Islam mesti memahami tradisi dan institusi Barat secara lebih mendalam saat ini, kita di Barat juga mesti menbersihkan diri dari prasangka kita. Mungkin satu tempat untuk memulai adalah sosok Muhammad sendiri: seorang manusia yang kompleks, penuh kasih, yang kadang-kadang melakukan hal-hal yang sulit kita terima, tetapi yang memiliki tatanan yang jeniuş dan besar serta telah menemukan sebuah agama dan tradisi budaya yang tidak didasarkan pada pedang—tak seperti mitos yang yang dikembangkan Barat—dan yang nama “Islam”nya berarti kedamaian dan rekonsiliasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *