Kisah Sentot Prawirodidjo dalam Perang Padri
Sentot Prawirodirdjo, atau lebih dikenal dengan Sentot Ali Basah (1808-1855), merupakan anak dari Bupati Wedana Mancanagara Timur, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, yang berasal dari keluarga Keraton Yogyakarta. Sentot memiliki garis keturunan yang sama dengan Pangeran Diponegoro, yaitu Sultan Hamengkubuwono I. Dia juga merupakan ipar dari sang pangeran, karena Diponegoro menikahi Raden Ayu Maduretno, saudari tirinya.
Ayah Sentot adalah sosok pendorong di balik pemberontakan terhadap Belanda pada tahun 1810. Peter Carey dalam bukunya “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855” Jilid 1 (2011) menyebutnya sebagai “pembela terakhir tatanan lama” karena keberaniannya.
Pemberontakan Raden Ronggo dipicu oleh tuntutan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) kepada Keraton Yogyakarta untuk memberikan akses untuk memonopoli perdagangan kayu jati. Saat situasi semakin memanas, pasukan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles mendarat di Jawa dan mengambil alih kekuasaan Belanda selama lima tahun berikutnya. Meskipun awalnya mendukung Hamengkubuwono II, Raffles kemudian menyerbu keraton karena menganggap raja tersebut sulit untuk diajak berunding.
Sentot dan Keterlibatannya dalam Perang Sabil
Perang Jawa dipicu oleh masalah perbaikan jalan di sekitar Yogyakarta, khususnya di Tegalrejo, tempat tinggal Diponegoro. Perintah tersebut datang dari Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, yang menyulitkan Diponegoro, penduduk sekitar, dan penggarap sawah di desa tersebut.
Sentot bergabung dengan pasukan Diponegoro ketika masih berusia 17 tahun. Hubungan kekeluargaan, kesetiaan, dan kesamaan latar belakang sosial membuatnya yakin untuk bergabung. Selain itu, kombinasi Diponegoro sebagai seorang pangeran, Kiai Modjo sebagai seorang ulama, dan Sentot sebagai seorang pemuda membuat langkah mereka mendapatkan dukungan dengan cepat. Dalam waktu singkat, perang menyebar ke daerah lain.
Faktor-faktor tersebut, ditambah dengan keyakinan bahwa Diponegoro adalah Sang Ratu Adil dan propaganda dari Sentot yang menggambarkan perang sebagai perang sabil (perang suci), memperkuat tekad Diponegoro untuk melanjutkan perang dengan melibatkan sebanyak mungkin rakyat.
Dikarenakan mayoritas penduduk memeluk Islam, istilah perang sabil dianggap sebagai strategi yang cerdas untuk menyatukan pikiran dan membangkitkan semangat perjuangan. Selain sebagai keyakinan, Islam juga menjadi basis ideologi dan identitas, serta sumber motivasi. Kelompok pemimpin paramiliter yang didominasi oleh santri diberi gelar yang bersifat Islam, seperti imamul amr. Namun, istilah tumenggung tetap digunakan untuk mengakomodasi kelompok dari luar golongan tersebut.
Panglima Kavaleri yang Terampil
Perang Jawa, yang menyebabkan pengeluaran besar pemerintah kolonial, dipicu oleh kebijakan aneksasi Belanda terhadap sebagian wilayah Keraton Yogyakarta, pengenaan pajak kepada etnis Tionghoa, dan penerapan sistem kerja paksa kepada rakyat.
Pada awal Perang Jawa, pasukan Diponegoro berhasil meraih sejumlah kemenangan. Selain karena militansi prajurit, kemenangan-kemenangan tersebut juga didukung oleh kecerdikan Diponegoro dan pasukannya dalam menerapkan taktik penyergapan.
Salah satu strategi penyergapan yang digunakan oleh Diponegoro adalah dengan menyembunyikan pasukannya di balik rumput tinggi di dekat jalur pasukan Belanda. Dengan formasi bulan sabit, mereka mampu menyerang musuh dengan mengejutkan.
Sentot, sebagai panglima kavaleri, sangat terampil dalam mengikuti strategi Diponegoro. Menurut Agus Suwignyo dkk dalam “Sang Ratu Adil, Kronik Kehidupan dan Perjuangan Pangeran Dipanegara 1785-1855” (Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada), ia berhasil menyamar pasukannya di balik pagar bambu dan mengurangi kebisingan kudanya dengan mengoleskan garam pada lidahnya.
Untuk membatasi pergerakan pasukan Diponegoro, Belanda membangun sejumlah benteng yang terhubung oleh jalur khusus. Strategi tersebut, yang dikenal sebagai Fort Stelsel dan dimulai pada tahun 1827, berhasil. Selain melanjutkan operasi militer, Belanda juga menggunakan pendekatan persuasif untuk mendapatkan dukungan dari keluarga keraton. Tujuannya jelas, yaitu untuk mengurangi dukungan mereka terhadap Diponegoro.
Para pemimpin yang telah bergerilya di hutan-hutan dijanjikan kedudukan, uang, dan kebebasan dari tuntutan hukum jika mereka setuju untuk kembali. Sultan yang telah diasingkan ke Ambon pun dipulangkan.
Mengakui Situasi yang Semakin Sulit
Sentot menjadi seorang panglima dan perencana strategi perang ketika baru berusia 20 tahun. Meskipun dukungan dari bangsawan dan rakyat masih besar, dia menyadari bahwa posisi Diponegoro semakin terjepit. Redupnya perlawanan Diponegoro semakin jelas setelah Kiai Modjo, pemimpin spiritual mereka, ditangkap pada tahun 1829. Peristiwa itu menandai penangkapan berbagai pemimpin dan tokoh perlawanan lainnya.
Menyadari bahwa situasi semakin sulit untuk diantisipasi, Sentot Prawirodirdjo menyerahkan diri pada tahun yang sama. Pada tahun berikutnya, de Kock menawarkan perundingan untuk menjebak Diponegoro, yang akhirnya berhasil. Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado sebelum akhirnya dipindahkan ke Makassar, tempat ia menghabiskan sisa hidupnya hingga tahun 1855. Nasib Kiai Modjo tidak berbeda, setelah ditangkap, ia diasingkan ke Minahasa hingga akhir hayatnya pada tahun 1849.
Sentot, setelah menyerah, menjadi alat untuk Belanda dalam memadamkan pemberontakan etnis Tionghoa di Karawang dan Salatiga. Namun, keputusannya menjadi bumerang bagi Belanda. Setelah menjalin kontak dengan kelompok Padri, ia justru membelot dan mendukung mereka. Setelah pengkhianatan itu terungkap, Belanda segera menangkap dan mengasingkannya ke Bengkulu pada tahun 1833. Sentot tidak pernah kembali ke Jawa dan meninggal dunia pada tahun 1855.