Sekolah

Fatmawati dan Perjuangannya Menjahit Bendera Merah Putih

Advertisements

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, salah satu hal yang sangat penting adalah persiapan bendera negara. Bendera Merah Putih, yang menjadi simbol kebanggaan dan identitas kedaulatan Indonesia, berhasil dijahit oleh Fatmawati. Di balik bendera pusaka tersebut terdapat usaha gigih dan pengorbanan yang dilakukan oleh Fatmawati.

Mari kita lihat lebih dekat siapa Fatmawati dan bagaimana proses pembuatan bendera merah putih ini berlangsung.

 Biografi Fatmawati dan Hubungannya dengan Soekarno

Fatmawati dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Bengkulu. Ia memulai pendidikan formalnya di usia enam tahun dengan bersekolah di Sekolah Angka II selama satu tahun. Pada tahun 1930, Fatmawati melanjutkan pendidikan ke Sekolah Angka I yang dikenal dengan nama Hollandsch Inlandsche School (HIS). Namun, akibat kondisi ekonomi keluarga yang sulit, ia harus pindah ke Palembang dan terpaksa menghentikan sekolahnya.

Fatmawati pertama kali bertemu dengan Soekarno pada 14 Februari 1938, ketika Soekarno bersama istrinya, Inggit Garnasih, dan dua anak angkatnya tiba di Bengkulu dalam rangka pengasingan. Menurut Anshar Prayudhi dalam tulisannya yang berjudul *Fatmawati, Putri Muhammadiyah Sang Penjahit Bendera Pusaka*, tidak banyak pejuang kemerdekaan yang menyadari betapa pentingnya sebuah bendera sebagai simbol perjuangan. Fatmawati, dalam hal ini, dikenal sebagai sosok yang menciptakan dan menjahit Bendera Merah Putih pertama kali.

 Proses Penjahitan Bendera Merah Putih

Fatmawati memulai proses pembuatan bendera Merah Putih setelah keluarganya kembali dari pengasingan di Bengkulu dan menetap di Jakarta. Permintaan pembuatan bendera ini berasal dari Shimizu, seorang perwira Jepang dan kepala barisan propaganda Gunseikanbu, yang berhubungan dengan ‘janji kemerdekaan’ Jepang pada September 1944. Berdasarkan janji tersebut, rakyat Indonesia diizinkan untuk mengibarkan bendera Merah Putih bersamaan dengan bendera Jepang pada hari-hari besar.

Fatmawati menjahit bendera di rumah mereka yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta. Proses menjahit berlangsung di ruang makan yang berada tepat di depan kamar tidurnya. Pada saat itu, Fatmawati sedang mengandung putra sulungnya, Guntur Soekarnoputra. Meski dalam kondisi fisik yang tidak ideal, Fatmawati tetap bertekad untuk menyelesaikan bendera tersebut. Ia mengerjakan bendera dengan penuh kesungguhan, bahkan sampai membasahi kain bendera dengan air matanya. Karena kondisi kesehatan dan ukuran bendera yang besar, pembuatan bendera ini memakan waktu dua hari.

Bendera Merah Putih tersebut dijahit dengan mesin jahit merek Singer yang dioperasikan secara manual, bukan menggunakan kaki, sebagaimana disarankan oleh dokter Fatmawati. Mesin jahit tersebut merupakan mesin buatan tahun 1941 dan berada di rumah mereka di Bengkulu sebelum dipindahkan ke Jakarta.

 Mengenal Bendera Pusaka

Untuk mendapatkan bahan kain yang berkualitas untuk bendera, Shimizu memerintahkan seorang perwira untuk mengambil kain merah dan putih berbahan halus, mirip dengan primissima, dari gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat. Kain tersebut kemudian dibawa ke rumah Fatmawati di Pegangsaan oleh Chairul. Kain bendera tersebut terbuat dari bahan wool impor dari London dengan ukuran awal 2 meter x 3 meter. Namun, seiring waktu dan seringnya pencucian, ukuran bendera menyusut menjadi 274 x 196 cm.

Sejak proklamasi kemerdekaan, bendera hasil jahitan Fatmawati selalu dikibarkan di pekarangan rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Pada tahun 1969, dibuat duplikat dari bendera merah putih tersebut dengan menggunakan sutera alam, sementara bendera asli disimpan di Istana Kepresidenan Jakarta, bersama dengan teks proklamasi kemerdekaan, furniture, dan koleksi benda seni lainnya.

Sejak 20 Mei 2007, bendera pusaka ini dipindahkan dan disimpan di Monumen Nasional. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 003/M/2015, bendera ini diakui sebagai benda cagar budaya, mengukuhkan statusnya sebagai simbol berharga dalam sejarah Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *