Penelitian

Empat Strategi Mitigasi Kekeringan Menurut Pakar UGM

Advertisements

Kekeringan merupakan tantangan alam yang tak terhindarkan bagi banyak negara tropis, termasuk Indonesia. Dr. Djati Mardiatno, seorang pakar mitigasi bencana dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengemukakan bahwa situasi kekeringan di tahun 2024 tidak akan disertai dengan fenomena El Niño yang kuat, melainkan dipengaruhi oleh La Niña yang lemah. “Tingkat keparahan El Niño tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya,” ungkap Djati.

Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bahwa kekeringan akan berlangsung lebih lama, dimulai dari Mei hingga Oktober 2024. Djati menekankan bahwa prediksi ini cukup akurat, mengingat perubahan iklim dapat berlangsung dinamis dan tidak selalu dapat diprediksi dengan tepat.

 Dinamika Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi dan hidrogeologi yang bervariasi. Hal ini mengakibatkan tidak semua daerah mengalami kekeringan secara bersamaan. Contohnya, Gunung Kidul dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang sering kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber air, terutama selama musim kemarau yang lebih panjang dibandingkan daerah lainnya.

Untuk menghadapi kemungkinan kekeringan, Djati mengimbau masyarakat dan pemerintah untuk melakukan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Dengan demikian, ketika kekeringan benar-benar terjadi, mereka sudah memiliki persiapan yang matang.

 Empat Langkah Mitigasi Kekeringan

Berikut adalah empat langkah mitigasi yang disarankan oleh Dr. Djati:

  1. Evaluasi Potensi Kekeringan

Untuk menilai potensi kekeringan di suatu wilayah, perlu mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk tipe iklim, kondisi geologis, dan sistem ekologi yang ada. Perubahan iklim berpengaruh pada pola curah hujan, dan BMKG sebelumnya meramalkan bahwa puncak musim kemarau akan jatuh pada Agustus hingga September. “Di bulan September, sumber mata air sering kali menyusut. Namun, dengan adanya perubahan iklim, ada kemungkinan hujan turun meskipun dalam jumlah sedikit pada bulan tersebut,” tambah Djati.

  1. Perhatian pada Sistem Irigasi

Pertanian adalah salah satu sektor yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, penting untuk memastikan sistem irigasi berfungsi dengan baik agar tanaman tetap dapat tumbuh. Tanpa pengairan yang memadai, sawah akan kering dan menyebabkan kelangkaan pangan serta kenaikan harga kebutuhan pokok. “Kemarau panjang mungkin tidak terlalu ekstrim, sehingga risiko gagal panen tetap rendah,” jelasnya. Djati menyarankan agar pengairan tidak hanya bergantung pada curah hujan, melainkan juga menggunakan sumber air dari sungai, danau, atau embung.

  1. Penyediaan Air oleh Pemerintah

Setiap tahun, banyak air bersih yang disediakan untuk mengatasi masalah kekeringan. Namun, pemerintah juga bisa mempertimbangkan pemompaan air tanah. Djati mengungkapkan bahwa Gunung Kidul memiliki potensi air tanah yang sangat besar, berkat karakteristik geologis yang mendukung penyerapan air. “Air hujan bisa disimpan dalam waktu lama di sungai-sungai bawah tanah dan gua-gua,” katanya. Namun, biaya untuk pemompaan air dari kedalaman yang signifikan cukup tinggi, sehingga perlu strategi yang efisien.

  1. Menciptakan Sumber Air Buatan

Selain pompa yang mahal, masyarakat dapat membuat sumber air buatan seperti embung atau bendungan. Metode ini umum digunakan di Nusa Tenggara Timur untuk menyimpan air saat musim hujan, sehingga bisa digunakan saat musim kemarau. “Masyarakat juga dapat menampung air hujan di tandon untuk keperluan irigasi dan kebutuhan sehari-hari,” imbuh Djati. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif dalam mitigasi kekeringan tanpa selalu bergantung pada pemerintah.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan masyarakat dapat lebih siap menghadapi tantangan kekeringan yang mungkin datang di masa mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *