Profil Ibnu Sina dan Ibnu Nafis: Perintis Kedokteran Islam
Ibnu Sina, yang dikenal juga dengan julukan Avicenna, dan Ibnu Nafis, yang disebut sebagai The Second Avicenna, adalah dua ilmuwan Muslim yang memiliki kontribusi monumental dalam bidang kedokteran. Mari kita eksplor lebih dalam tentang kehidupan, karya, dan pengaruh mereka dalam perkembangan ilmu kedokteran.
Ibnu Sina: Bapak Kedokteran Modern
Ibnu Sina, atau Avicenna, adalah salah satu ilmuwan Muslim paling terkenal dari Zaman Kejayaan Islam. Dilahirkan pada tahun 980 Masehi di Uzbekistan, Ibnu Sina menunjukkan kecemerlangan intelektualnya sejak usia muda. Dikatakan bahwa pada usia 10 tahun, dia telah menghafal Al-Qur’an, menunjukkan bakat dan dedikasi yang luar biasa.
Pada usia 16 tahun, Ibnu Sina belajar kedokteran dari seorang guru bernama Natili. Kejeniusannya tidak terbantahkan, dan pada usia 21 tahun, dia sudah menghasilkan lebih dari 240 karya tulis dalam berbagai bidang ilmu, termasuk matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah “Al Qanun fi Tibb” atau “Kanon Kedokteran”. Buku ini menjadi karya penting dalam sejarah kedokteran, memperkenalkan konsep-konsep seperti uji klinis dan farmakologi klinis yang masih relevan hingga saat ini. Selain itu, Ibnu Sina juga memperkenalkan konsep bahwa penyakit tidak hanya disebabkan oleh faktor fisik, tetapi juga kondisi kejiwaan, menjadikannya sebagai salah satu pelopor psikologi modern.
Pengaruh Ibnu Sina meluas ke berbagai bidang ilmu, dan karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa, mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat. Dia meninggal pada tahun 1037 Masehi, meninggalkan warisan ilmiah yang luas dan mendalam.
Ibnu Nafis: The Second Avicenna
Ibnu Nafis, yang lahir pada tahun 1213 di Damaskus, adalah ilmuwan yang hidup sekitar 170 tahun setelah Ibnu Sina. Dia dikenal sebagai The Second Avicenna karena kontribusinya yang signifikan dalam bidang kedokteran, terutama dalam memahami sirkulasi darah.
Salah satu teori terkenal Ibnu Nafis adalah teori sirkulasi darah-paru-paru. Dia menentang teori Galen yang sudah diterima secara luas pada masanya, yang menyatakan bahwa darah mengalir melalui “lubang tak terlihat” antara bilik kanan dan kiri jantung. Ibnu Nafis mengemukakan bahwa sirkulasi darah dimulai dari bilik kanan jantung, melewati paru-paru untuk disaring, kemudian kembali ke bilik kiri jantung untuk didistribusikan ke seluruh tubuh.
Temuannya ini merupakan titik balik dalam pemahaman tentang peredaran darah, dan meskipun kontroversial pada masanya, teori Ibnu Nafis akhirnya diakui dan menjadi dasar bagi perkembangan ilmu kedokteran modern.
Pengaruh Ibnu Nafis dalam sejarah kedokteran tidak bisa diremehkan, dan karyanya telah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pemahaman kita tentang anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Dia meninggal pada tahun 1288, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah kedokteran Islam.
Pingback: Mengungkap Awal Mula Kebudayaan Islam - DUNIA PENDIDIK